Kedatangan hari raya Idul Fitri merupakan sebuah kemenangan bagi setiap muslim. Mereka telah berhasil diuji kesabarannya oleh Allah dengan berpuasa sebulan penuh. Sebelum mereka dijamu pada hari raya Idul Fitri dengan makanan dan minuman, terlebih dahulu Allah menjamu mereka pada bulan Ramadhan dengan pahala yang luar biasa banyaknya dan ampunan dosa yang tiada batasnya. Namun semua itu tidak gratis. Allah SWT hanya memberikannya kepada orang-orang yang mau membayarnya dengan puasa dan sedikit ibadah.
Kebahagiaan itu akan lebih sempurna jika puasa kita sebulan penuh tidak ada yang terlewatkan. Bagi mereka yang mempunyai hutang, baik sengaja mau pun tidak sengaja, karena udzur atau tidak, kebahagiaan hari raya akan terasa sesaat saja karena mereka harus kembali memikirkan kapan akan mengqodlo’ puasa-puasa yang telah ditinggalkan? Mereka juga harus kembali mempersiapkan fisik dan mental untuk memenuhi kewajiban ini.
Berbicara tentang qodlo’ puasa Ramadhan, ada sebuah pertanyaan menarik yang dilontarkan oleh seorang muslimah kepada Radio Suara Nabawiy 107.7 FM Pasuruan.“Perempuan hamil atau menyusui yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan, apakah masih diwajibkan mengqodlo’ puasa mereka padahal mereka sudah mengganti puasa tersebut dengan fidyah?”
Pertanyaan seperti ini menunjukkan bahwa dalam beberapa masalah fiqh yang telah banyak dimengerti oleh umat Islam, ternyata ada beberapa permasalahan yang bercampur aduk pengertiannya sehingga timbullah pemahaman yang keliru.
Orang tua renta wajib membayar fidyah tanpa mengqodlo’ puasa, sedangkan perempuan hamil wajib membayar fidyah dan harus mengqodlo’ puasa. Ketika dua orang tersebut sama-sama harus membayar fidyah, sebagian orang salah memahami hal ini dan menganggap keduanya sama-sama tidak wajib qodlo’.
Qodlo’ dan fidyah adalah dua hal yang berbeda dan tidak ada sangkut pautnya sama sekali. Dalam beberapa masalah keduanya bisa dianggap satu, dan dalam masalah lain keduanya terpisah. Ada orang yang wajib qodlo’ tanpa fidyah, adapula yang wajib fidyah tanpa qodlo’, juga ada yang wajib qodlo’ sekaligus fidyah.
Apakah qodlo’ itu? dan apakah fidyah itu?
Qodlo’ adalah mengerjakan ibadah setelah keluarnya waktu yang telah ditetapkan.
Sedangkan fidyah adalah satu mud (7,5 ons) makanan pokok daerah setempat yang dikeluarkan setiap hari oleh orang yang wajib mengeluarkannya dan diberikan kepada seorang fakir atau miskin. Satu mud tidak boleh diberikan untuk dua orang fakir miskin, tetapi beberapa mud boleh diberikan untuk satu orang fakir miskin.
Dalam kitab Safinatun Najah disebutkan bahwa hukum meninggalkan puasa di bulan Ramadhan ada empat:
Wajib mengqodlo’ puasa yang ditinggalkannya saja tanpa harus membayar fidyah.
Wajib membayar fidyah karena meninggalkan puasa tanpa harus mengqodlo’ puasanya.
Wajib mengqodlo’ puasa yang ditinggalkannya sekaligus membayar fidyah.
Tidak wajib mengqodlo’ puasa dan tidak wajib mengeluarkan fidyah.
Pertama, wajib mengqodlo’ puasa saja tanpa harus mengeluarkan fidyah. Hal ini diwajibkan kepada orang yang sengaja tidak berpuasa (karena haid dan nifas), atau memang ia enggan berpuasa. Juga orang yang lupa berniat di malam hari atau sengaja membatalkan puasanya.
Kedua, wajib membayar fidyah saja tanpa mengqodlo’. Ini hanya terjadi pada orang yang benar-benar tidak mampu berpuasa selamanya. Contoh, orang yang lanjut usia, orang yang memiliki kelemahan fisik dan orang sakit. Meski pun keduanya masih muda, akan tetapi kelemahan fisik dan penyakit mereka tidak mungkin disembuhkan menurut medis.
Ketiga, wajib mengqodlo’ puasa sekaligus membayar fidyah. Ini hanya terjadi pada dua masalah, yaitu orang yang mengakhirkan qodlo’ Ramadhan sampai datangnya Ramadhan lain dan orang yang “terpaksa” berbuka demi orang lain.
Masalah pertama, orang yang mengakhirkan qodlo’ Ramadhan sampai datangnya Ramadhan lain. Jika seseorang memiliki hutang puasa Ramadhan dan ia mendapatkan waktu yang cukup untuk membayar hutang tersebut tetapi tidak ia lakukan sampai datangnya Ramadhan yang lain, maka setelah Ramadhan ini berlalu ia tetap wajib mengqodlo’ puasa tersebut disertai fidyah satu mud perhari. Contoh, seorang wanita mengalami menstruasi lima hari pada bulan Ramadhan sehingga puasanya terhutang lima hari. Setelah hari raya ia tidak bersegera mengqodlo’ puasa lima hari itu. Bulan demi bulan berlalu ia tetap tidak membayar hutang puasanya hingga datang Ramadhan tahun berikutnya. Setelah Ramadhan itu usai, ia tetap wajib mengqodlo’ puasa lima hari dan wajib membayar fidyah satu mud makanan pokok seperti beras dan jagung per hari.
Contoh kedua, A adalah seorang ABG yang ingin bertaubat. Sejak ia baligh berumur 13 tahun ia tidak pernah salat dan puasa. Sekarang setelah berumur 16 tahun ia bertaubat dan ingin membayar hutang-hutang salat dan puasanya. Masalah salat tidaklah rumit karena ia hanya harus menghitung berapa salat yang ia tinggalkan dan langsung mengqodlo’nya. Dalam masalah puasa, ada perhitungan sendiri karena ia harus membayar fidyah selain mengqodlo’ puasa.
Jika ia mencapai baligh pada ulang tahun yang ke 13 tetapi ia tidak berpuasa di setiap bulan Ramadhan bahkan tidak mau mengqodlo’nya sama sekali sampai berumur 16 tahun, maka setelah hari raya Idul Fitri di usia yang ke 16 dan ia hendak mengqodlo’ puasa Ramadhan yang ia tinggalkan pada saat berumur 13, 14, 15, dan 16, maka ia harus berpuasa selama empat bulan penuh pengganti 4 Ramadhan yang ia tinggalkan dan harus membayar fidyah setiap harinya dengan perincian berikut: 30 hari pertama disertai 3 mud per hari karena ini adalah qodlo’ untuk Ramadhan pada umur 13 tahun yang telah melewati 3 Ramadhan. 30 hari kedua disertai 2 mud karena ini adalah qodlo’ Ramadhan pada umur 14 tahun yang telah melewati 2 Ramadhan. 30 ketiga disertai 1 mud karena ini adalah qodlo’ Ramadhan pada umur 15 tahun yang hanya melewati 1 Ramadhan, dan 30 hari terakhir tidak wajib membayar fidyah sama sekali karena belum melewati 1 Ramadhan pun.
Ringkasnya, kewajiban yang harus ia lakukan adalah berpuasa 4 bulan dengan ketentuan berikut 30 hari pertama disertai 3 mud perhari, 30 hari kedua disertai 2 mud perhari, 30 hari ketiga disertai 1 mud perhari, dan 30 hari terakhir tidak disertai fidyah sama sekali. Jadi kewajiban membayar fidyah itu akan terus bertambah sesuai banyaknya Ramadhan yang terlewatkan tanpa menqodlo’ puasa dengan ketentuan 1 Ramadhan ia lewatkan berarti 1 mud makanan per hari harus ia bayar bersama qodlo’nya.Jika 2 Ramadhan ia lewatkan berarti 2 mud makanan harus ia bayar beserta qodlo’nya dan demikian seterusnya.
Masalah kedua, orang yang “terpaksa” membatalkan puasanya demi orang lain. Contoh, ibu hamil dan menyusui yang tidak berpuasa karena takut terjadi sesuatu pada bayi yang dikandung atau disusuinya, atau orang yang terpaksa membatalkan puasanya dengan meminum seteguk air misalnya agar memiliki kekuatan untuk menolong orang lain dalam keadaan darurat seperti tenggelam atau terjebak dalam kebakaran.
Mengandung atau menyusui bayi memang membutuhkan tenaga ekstra, suplemen dan makanan ekstra untuk si ibu dan makanan untuk bayi yang dikandung atau disusuinya. Porsi yang diperlukan bisa dua kali lipat wanita biasa. Oleh karena itu jika wanita hamil atau menyusui berpuasa, biasanya akan mudah merasa lapar atau bayinya akan kekurangan gizi.
Biasanya, seorang ibu hamil atau menyusui yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan beralasan tidak kuat menahan lapar atau merasa lemas jika berpuasa. Ada pula yang beralasan karena takut anaknya kurang gizi atau kurang sehat. Sudah barang tentu jika ibunya berpuasa, janin dalam kandungan akan kekurangan bahan makanan. Bayi yang menyusu juga akan kekurangan bahan makanan.
Itulah sebabnya ibu hamil atau menyusui boleh meninggalkan puasa dan harus mengqodlo’nya jika udzurnya sudah tidak ada lagi. Bagi perempuan yang meninggalkan puasa karena kuatir dengan keadaan bayinya, selain mengqodlo’ ia juga harus membayar fidyah. Ada pun jika ia hanya mengkhawatirkan dirinya saja tanpa ada kekhawatiran terhadap bayinya, maka yang diwajibkan hanyalah mengqodlo’ saja tanpa harus membayar fidyah.
Keempat, yaitu tidak wajib mengqodlo’ dan tidak wajib membayar fidyah. Ini bagi orang gila, anak kecil yang belum baligh, dan orang kafir asli. Apabila seorang muslim gila satu bulan penuh di bulan Ramadhan kemudian sembuh pada bulan Syawal, maka ia tidak wajib mengqodlo’ puasa Ramadhan yang telah lewat. Begitu pula orang kafir asli yang masuk Islam di bulan Syawal atau anak kecil yang memasuki usia baligh setelah lewatnya Ramadlan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:
رُفِعَ الْقَلَمُ عن ثَلَاثَةٍ عن النَّائِمِ حتى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حتى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حتى يَعْقِل
Diangkat pena (tidak tercatat dosa) dari tiga orang, orang tidur sampai bangun, anak kecil sampai baligh, dan orang gila sampai waras.
Dan sabda Nabi SAW kepada sahabat Amr bin Ash:
أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ الْإِسْلَامَ يَهْدِمُ ما كان قَبْلَهُ
Tidakkah kau tahu bahwa Islam menghapus segala perbuatan yang terjadi sebelumnya.
Dua hadits ini mengajarkan kita bahwa segala kesalahan yang dilakukan anak kecil dan orang gila tidak terhitung dosa, dan apabila seorang kafir asli memeluk agama Islam maka segala kesalahan dan dosanya dihapus oleh Allah SWT. Sehingga, jika mereka telah baligh, waras, dan masuk Islam, maka mereka tidak perlu mengqodlo’ puasa Ramadhan yang mereka tinggalkan ketika masih dalam keadaan belum baligh, gila, dan kafir.
Sekarang kita telah tahu perbedaan fidyah yang harus dibayar oleh seorang lansia dan fidyah yang harus dibayar oleh wanita hamil dan menyusui. Fidyah yang dibayar lansia telah menggantikan kewajiban puasa mereka sedangkan fidyah yang dibayar ibu hamil dan menyusui tidak menggantikan kewajiban puasa mereka sehingga mereka tetap wajib mengqodlo’ puasa tersebut.
Meski pun kita telah berpuasa 30 hari dan tidak memiliki kewajiban qodlo’, bukan berarti kita tidak perlu puasa di bulan lain, terlebih di bulan Syawal ini. Ada perintah anjuran atau kesunnahan puasa 6 hari di bulan Syawal sesuai sabda Nabi SAW:
من صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ بِسِتٍّ من شَوَّالٍ كان كَصَوْمِ الدَّهْر
Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian mengikutkannya dengan 6 hari di bulan Syawal, itu sama pahalanya seperti puasa setahun penuh.
Mudah-mudahan Allah SWT menerima puasa dan segala ibadah kita di bulan Ramadhan dan memanjangkan umur kita sehingga kita bisa bertemu dengan Ramadhan-Ramadhan lainnya pada tahun-tahun mendatang. Amin ya Rabbal alamin…..!
Zahid Ilham
Sumber: Majalah Cahaya Nabawiy, Edisi 97 Syawal 1432 H / Agustus 2011
Kebahagiaan itu akan lebih sempurna jika puasa kita sebulan penuh tidak ada yang terlewatkan. Bagi mereka yang mempunyai hutang, baik sengaja mau pun tidak sengaja, karena udzur atau tidak, kebahagiaan hari raya akan terasa sesaat saja karena mereka harus kembali memikirkan kapan akan mengqodlo’ puasa-puasa yang telah ditinggalkan? Mereka juga harus kembali mempersiapkan fisik dan mental untuk memenuhi kewajiban ini.
Berbicara tentang qodlo’ puasa Ramadhan, ada sebuah pertanyaan menarik yang dilontarkan oleh seorang muslimah kepada Radio Suara Nabawiy 107.7 FM Pasuruan.“Perempuan hamil atau menyusui yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan, apakah masih diwajibkan mengqodlo’ puasa mereka padahal mereka sudah mengganti puasa tersebut dengan fidyah?”
Pertanyaan seperti ini menunjukkan bahwa dalam beberapa masalah fiqh yang telah banyak dimengerti oleh umat Islam, ternyata ada beberapa permasalahan yang bercampur aduk pengertiannya sehingga timbullah pemahaman yang keliru.
Orang tua renta wajib membayar fidyah tanpa mengqodlo’ puasa, sedangkan perempuan hamil wajib membayar fidyah dan harus mengqodlo’ puasa. Ketika dua orang tersebut sama-sama harus membayar fidyah, sebagian orang salah memahami hal ini dan menganggap keduanya sama-sama tidak wajib qodlo’.
Qodlo’ dan fidyah adalah dua hal yang berbeda dan tidak ada sangkut pautnya sama sekali. Dalam beberapa masalah keduanya bisa dianggap satu, dan dalam masalah lain keduanya terpisah. Ada orang yang wajib qodlo’ tanpa fidyah, adapula yang wajib fidyah tanpa qodlo’, juga ada yang wajib qodlo’ sekaligus fidyah.
Apakah qodlo’ itu? dan apakah fidyah itu?
Qodlo’ adalah mengerjakan ibadah setelah keluarnya waktu yang telah ditetapkan.
Sedangkan fidyah adalah satu mud (7,5 ons) makanan pokok daerah setempat yang dikeluarkan setiap hari oleh orang yang wajib mengeluarkannya dan diberikan kepada seorang fakir atau miskin. Satu mud tidak boleh diberikan untuk dua orang fakir miskin, tetapi beberapa mud boleh diberikan untuk satu orang fakir miskin.
Dalam kitab Safinatun Najah disebutkan bahwa hukum meninggalkan puasa di bulan Ramadhan ada empat:
Wajib mengqodlo’ puasa yang ditinggalkannya saja tanpa harus membayar fidyah.
Wajib membayar fidyah karena meninggalkan puasa tanpa harus mengqodlo’ puasanya.
Wajib mengqodlo’ puasa yang ditinggalkannya sekaligus membayar fidyah.
Tidak wajib mengqodlo’ puasa dan tidak wajib mengeluarkan fidyah.
Pertama, wajib mengqodlo’ puasa saja tanpa harus mengeluarkan fidyah. Hal ini diwajibkan kepada orang yang sengaja tidak berpuasa (karena haid dan nifas), atau memang ia enggan berpuasa. Juga orang yang lupa berniat di malam hari atau sengaja membatalkan puasanya.
Kedua, wajib membayar fidyah saja tanpa mengqodlo’. Ini hanya terjadi pada orang yang benar-benar tidak mampu berpuasa selamanya. Contoh, orang yang lanjut usia, orang yang memiliki kelemahan fisik dan orang sakit. Meski pun keduanya masih muda, akan tetapi kelemahan fisik dan penyakit mereka tidak mungkin disembuhkan menurut medis.
Ketiga, wajib mengqodlo’ puasa sekaligus membayar fidyah. Ini hanya terjadi pada dua masalah, yaitu orang yang mengakhirkan qodlo’ Ramadhan sampai datangnya Ramadhan lain dan orang yang “terpaksa” berbuka demi orang lain.
Masalah pertama, orang yang mengakhirkan qodlo’ Ramadhan sampai datangnya Ramadhan lain. Jika seseorang memiliki hutang puasa Ramadhan dan ia mendapatkan waktu yang cukup untuk membayar hutang tersebut tetapi tidak ia lakukan sampai datangnya Ramadhan yang lain, maka setelah Ramadhan ini berlalu ia tetap wajib mengqodlo’ puasa tersebut disertai fidyah satu mud perhari. Contoh, seorang wanita mengalami menstruasi lima hari pada bulan Ramadhan sehingga puasanya terhutang lima hari. Setelah hari raya ia tidak bersegera mengqodlo’ puasa lima hari itu. Bulan demi bulan berlalu ia tetap tidak membayar hutang puasanya hingga datang Ramadhan tahun berikutnya. Setelah Ramadhan itu usai, ia tetap wajib mengqodlo’ puasa lima hari dan wajib membayar fidyah satu mud makanan pokok seperti beras dan jagung per hari.
Contoh kedua, A adalah seorang ABG yang ingin bertaubat. Sejak ia baligh berumur 13 tahun ia tidak pernah salat dan puasa. Sekarang setelah berumur 16 tahun ia bertaubat dan ingin membayar hutang-hutang salat dan puasanya. Masalah salat tidaklah rumit karena ia hanya harus menghitung berapa salat yang ia tinggalkan dan langsung mengqodlo’nya. Dalam masalah puasa, ada perhitungan sendiri karena ia harus membayar fidyah selain mengqodlo’ puasa.
Jika ia mencapai baligh pada ulang tahun yang ke 13 tetapi ia tidak berpuasa di setiap bulan Ramadhan bahkan tidak mau mengqodlo’nya sama sekali sampai berumur 16 tahun, maka setelah hari raya Idul Fitri di usia yang ke 16 dan ia hendak mengqodlo’ puasa Ramadhan yang ia tinggalkan pada saat berumur 13, 14, 15, dan 16, maka ia harus berpuasa selama empat bulan penuh pengganti 4 Ramadhan yang ia tinggalkan dan harus membayar fidyah setiap harinya dengan perincian berikut: 30 hari pertama disertai 3 mud per hari karena ini adalah qodlo’ untuk Ramadhan pada umur 13 tahun yang telah melewati 3 Ramadhan. 30 hari kedua disertai 2 mud karena ini adalah qodlo’ Ramadhan pada umur 14 tahun yang telah melewati 2 Ramadhan. 30 ketiga disertai 1 mud karena ini adalah qodlo’ Ramadhan pada umur 15 tahun yang hanya melewati 1 Ramadhan, dan 30 hari terakhir tidak wajib membayar fidyah sama sekali karena belum melewati 1 Ramadhan pun.
Ringkasnya, kewajiban yang harus ia lakukan adalah berpuasa 4 bulan dengan ketentuan berikut 30 hari pertama disertai 3 mud perhari, 30 hari kedua disertai 2 mud perhari, 30 hari ketiga disertai 1 mud perhari, dan 30 hari terakhir tidak disertai fidyah sama sekali. Jadi kewajiban membayar fidyah itu akan terus bertambah sesuai banyaknya Ramadhan yang terlewatkan tanpa menqodlo’ puasa dengan ketentuan 1 Ramadhan ia lewatkan berarti 1 mud makanan per hari harus ia bayar bersama qodlo’nya.Jika 2 Ramadhan ia lewatkan berarti 2 mud makanan harus ia bayar beserta qodlo’nya dan demikian seterusnya.
Masalah kedua, orang yang “terpaksa” membatalkan puasanya demi orang lain. Contoh, ibu hamil dan menyusui yang tidak berpuasa karena takut terjadi sesuatu pada bayi yang dikandung atau disusuinya, atau orang yang terpaksa membatalkan puasanya dengan meminum seteguk air misalnya agar memiliki kekuatan untuk menolong orang lain dalam keadaan darurat seperti tenggelam atau terjebak dalam kebakaran.
Mengandung atau menyusui bayi memang membutuhkan tenaga ekstra, suplemen dan makanan ekstra untuk si ibu dan makanan untuk bayi yang dikandung atau disusuinya. Porsi yang diperlukan bisa dua kali lipat wanita biasa. Oleh karena itu jika wanita hamil atau menyusui berpuasa, biasanya akan mudah merasa lapar atau bayinya akan kekurangan gizi.
Biasanya, seorang ibu hamil atau menyusui yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan beralasan tidak kuat menahan lapar atau merasa lemas jika berpuasa. Ada pula yang beralasan karena takut anaknya kurang gizi atau kurang sehat. Sudah barang tentu jika ibunya berpuasa, janin dalam kandungan akan kekurangan bahan makanan. Bayi yang menyusu juga akan kekurangan bahan makanan.
Itulah sebabnya ibu hamil atau menyusui boleh meninggalkan puasa dan harus mengqodlo’nya jika udzurnya sudah tidak ada lagi. Bagi perempuan yang meninggalkan puasa karena kuatir dengan keadaan bayinya, selain mengqodlo’ ia juga harus membayar fidyah. Ada pun jika ia hanya mengkhawatirkan dirinya saja tanpa ada kekhawatiran terhadap bayinya, maka yang diwajibkan hanyalah mengqodlo’ saja tanpa harus membayar fidyah.
Keempat, yaitu tidak wajib mengqodlo’ dan tidak wajib membayar fidyah. Ini bagi orang gila, anak kecil yang belum baligh, dan orang kafir asli. Apabila seorang muslim gila satu bulan penuh di bulan Ramadhan kemudian sembuh pada bulan Syawal, maka ia tidak wajib mengqodlo’ puasa Ramadhan yang telah lewat. Begitu pula orang kafir asli yang masuk Islam di bulan Syawal atau anak kecil yang memasuki usia baligh setelah lewatnya Ramadlan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:
رُفِعَ الْقَلَمُ عن ثَلَاثَةٍ عن النَّائِمِ حتى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حتى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حتى يَعْقِل
Diangkat pena (tidak tercatat dosa) dari tiga orang, orang tidur sampai bangun, anak kecil sampai baligh, dan orang gila sampai waras.
Dan sabda Nabi SAW kepada sahabat Amr bin Ash:
أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ الْإِسْلَامَ يَهْدِمُ ما كان قَبْلَهُ
Tidakkah kau tahu bahwa Islam menghapus segala perbuatan yang terjadi sebelumnya.
Dua hadits ini mengajarkan kita bahwa segala kesalahan yang dilakukan anak kecil dan orang gila tidak terhitung dosa, dan apabila seorang kafir asli memeluk agama Islam maka segala kesalahan dan dosanya dihapus oleh Allah SWT. Sehingga, jika mereka telah baligh, waras, dan masuk Islam, maka mereka tidak perlu mengqodlo’ puasa Ramadhan yang mereka tinggalkan ketika masih dalam keadaan belum baligh, gila, dan kafir.
Sekarang kita telah tahu perbedaan fidyah yang harus dibayar oleh seorang lansia dan fidyah yang harus dibayar oleh wanita hamil dan menyusui. Fidyah yang dibayar lansia telah menggantikan kewajiban puasa mereka sedangkan fidyah yang dibayar ibu hamil dan menyusui tidak menggantikan kewajiban puasa mereka sehingga mereka tetap wajib mengqodlo’ puasa tersebut.
Meski pun kita telah berpuasa 30 hari dan tidak memiliki kewajiban qodlo’, bukan berarti kita tidak perlu puasa di bulan lain, terlebih di bulan Syawal ini. Ada perintah anjuran atau kesunnahan puasa 6 hari di bulan Syawal sesuai sabda Nabi SAW:
من صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ بِسِتٍّ من شَوَّالٍ كان كَصَوْمِ الدَّهْر
Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian mengikutkannya dengan 6 hari di bulan Syawal, itu sama pahalanya seperti puasa setahun penuh.
Mudah-mudahan Allah SWT menerima puasa dan segala ibadah kita di bulan Ramadhan dan memanjangkan umur kita sehingga kita bisa bertemu dengan Ramadhan-Ramadhan lainnya pada tahun-tahun mendatang. Amin ya Rabbal alamin…..!
Zahid Ilham
Sumber: Majalah Cahaya Nabawiy, Edisi 97 Syawal 1432 H / Agustus 2011
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar