
Ahmad bin
Abdullah bin Husein bin Tohir bercerita kepadaku, “Sekali waktu aku
pergi ke rumah saudara perempuanku, Nur. Dia berkata, “Wahai Ahmad,
tolong ambilkan gula dan biji kopi”. Aku naik ke atas loteng, tapi di
sana tidak kutemukan apa-apa. Aku kembali menemuinya, “Perempuan tua
anak Abdullah bin Husein, kau membohongiku”. Ia menjawab, “Wahai anak
ibumu, naik dan lihatlah!” Aku sekali lagi naik ke atas loteng dan tidak
menemukan apa-apa. Dia lalu naik ke loteng bersamaku dan membuka
lemari, tempat gula dan biji kopi yang tadi kosong, ternyata sekarang
telah penuh.
Nur pernah
berkata kepadaku, “Aku mendengar seruan Allah di akhir malam:
Bangunlah, mintalah apa saja yang kau inginkan, kebutuhan dunia maupun
agama, Aku akan memberimu saat ini juga”. Ayah beliau, Habib Abdullah
bin Husein memberinya wasiat:
Wahai Nur,
jika kau menginginkan nur,
dan hati makmur,
dada lapang dan bahagia,
taatlah selalu kepada Allah.
jika kau menginginkan nur,
dan hati makmur,
dada lapang dan bahagia,
taatlah selalu kepada Allah.
Ahmad bin
Abdullah juga bercerita, “Suatu hari aku duduk bersama Nur. Ketika masuk
waktu salat, ia bertanya, “Dimana arah kiblat?” Dengan maksud bercanda,
aku menunjuk arah lain, bukan arah kiblat. Ketika ia mulai mengangkat
tangannya hendak bertakbir, ia berkata, “Arah kiblatnya bukan ke situ.
Kau pikir aku tidak tahu arah kiblat. Demi Allah, aku tidak mengucapkan
takbiratul ihram, kecuali setelah benar-benar melihat ka’bah”.
Suatu hari
aku berkunjung ke rumah Hababah Nur bersama beberapa orang sahabatku.
Hababah Nur berpesan, “Wahai keluargaku, curahkan perhatianmu pada ilmu
Fiqih, sebab dengan ilmu Fiqih-lah syariat suci ini akan dapat tegak.
Namun masyarakat telah meninggalkan ilmu Fiqih. Padahal ilmu fiqih
merupakan inti (agama). Allah…Allah dalam Fiqih, ketahuilah ilmu ini
akan hilang.
Dan kau
(wahai Ali), hendak pergi ke Tarim, bukan? Jadikanlah semua topik
ceramahmu tentang wara’, juga masalah halal dan haram. Sebab, semua yang
haram telah tersebar merata dan sikap wara’ telah meninggalkan lembah
ini. Anjurkanlah mereka untuk bersikap wara’ dan meninggalkan semua yang
syubhat. Ketahuilah, makanan haram akan melemahkan hati”.
Perhatikan
generasi dahulu, para wanitanya banyak yang saleh. Hababah Nur ini
hidup di zamanku. Dikatakan bahwa: “Betapa banyak rambut terurai
(wanita) lebih baik dari jenggot (pria)” Ibu Habib Abdullah bin Husein
bin Tohir lebih agung lagi. Beliau adalah Hababah Syeikhoh binti
Abdullah bin Yahya. Dari pasangan suami istri ini lahir Husein, Tohir,
Abdullah dan Khodijah. Khodijah adalah ibu Habib Abdullah bin Umar bin
Yahya.
Suatu hari
Habib Abdulkadir bin Muhammad Al-Habsyi yang tinggal di Ghurfah
mengunjungi para Habaib yang tinggal di kota Masileh. Mereka semua
merasa senang dengan kedatangannya. Orang-orang mengatakan bahwa beliau
gemar bermujahadah yang berat-berat, dan berulang kali melakukan
arbainiyah (khalwat selama 40 hari). Selama dua puluh tahun beliau tidak
minum air. Habib Tohir dan Habib Abdullah melaporkan hal ini kepada
ibunya, “Wahai ibu, Habib Abdulkadir ini amalnya begini dan begini.
Telah dua puluh tahun beliau tidak minum air”.
“Dia
lelaki yang baik, perbuatannya baik, dan apa yang telah disifatkan oleh
orang-orang tentang dirinya sangat baik. Ambilkanlah sebuah teko lalu
penuhilah dengan air”, perintah ibunya. “Berikan teko ini kepadanya dan
katakan: ibu kami mengucapkan salam dan berpesan agar kau meminum air
ini sebagaimana kakekmu Muhammad saw meminumnya. Keutamaan kaum sholihin
terletak pada kemampuannya meninggalkan larangan. Apakah selama dua
puluh tahun ini engkau tidak mengerjakan yang makruh; apakah tidak
pernah terlintas di hatimu untuk melakukannya? Kalau sekedar ibadah,
para wanita tua pun dapat melakukannya. Demikian pesan ibu mereka
setelah diambilkan teko yang penuh air.
“Kami
tidak berani bersikap kurang ajar kepadanya, Bu”. “Berikan teko ini lalu
sampaikan pesanku kepadanya jika kalian menginginkan kebaikan dan
keberkahan”. Mereka berdua lalu menemui Habib Abdulkadir dan
menyampaikan pesan ibunya. “Benar, ibumu benar. Sungguh dia adalah
seorang murabbiyah (pendidik) yang baik. Sungguh beliau sebaik-baik
muaddibah (pendidik). Sungguh baik ucapannya. Bawa sini air itu”, jawab
Habib Abdulkadir. Setelah teko Itu beralih ke tangannya, beliau pun
segera meminum airnya. (N:102-105)
Suatu hari
aku dan Ahmad Ali Makarim berjalan-jalan di kota Bur. Kami
berbincang-bincang tentang masalah nafs. Jauh dari situ ada beberapa
wanita sedang mencari kayu di tepi sungai yang sudah kering. Tiba-tiba
salah seorang dari wanita-wanita itu mendatangi kami dan berkata, “Tidak
ada yang merintangi manusia dari Tuhannya kecuali nafs”. Kami berkata
kepadanya, “Kau benar, Allah telah memuliakanmu dengan hikmah”. Wanita
itu kemudian pergi untuk bergabung kembali dengan teman-temannya.
Rupanya pembicaraan kami di-kasyf oleh wanita tadi. (N:235)
Sholeh bin
Nukh berkata kepadaku, “Wahai Habib Ali, aku memiliki anak perempuan
yang saleh”. “Bagaimana kau tahu dia seorang saleh?” “Aku pernah
bertanya kepadanya, “Senangkah kau jika ada seseorang yang memberimu
satu peti perhiasan?” Dia menjawab, “Wahai ayah, apakah perhiasan ini
dapat menyenangkan hati seseorang? Perhiasan hanya akan melukai hati”.
Aku bertanya lagi, “Bagaimana pendapatmu jika kau dapat melihat Allah
Yang Maha Mulia?” Mendengar ucapanku ini, ia terjatuh dan menangis
selama tiga hari. Apakah ia seorang wanita saleh?”
“Ya, dia
adalah seorang wanita yang saleh…sungguh-sungguh wanita yang saleh?”
Salim bin Abubakar (bin Abdullah Alatas) berkata kepadaku, “Aku pernah
mendengar Sholeh bin Nukh dan anak perempuannya berdzikir kepada Allah
berdua di rumahnya, suara mereka seakan-akan suara 100 orang”.
(N:463-464)
Simak di: http://www.sarkub.com/2012/kisah-wanita-wanita-yang-saleh/#ixzz2nPEgl7Er
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar