“Jika
mengkafirkan seorang muslim saja berakibat pada dosa yang besar,
bagaimana dengan pengkafiran yang dituduhkan pada seketompok muslimin
yang terbanyak, dan menuduh mereka berbuat syirik”
Upacara tahlil, pembacaan Maulid Nabi dan praktek rohaniah lain yang mencair dengan nuansa budaya – seperti Maulid Nabi yang hakikatnya madah (memuji) Rasul yang merupakan ekspresi kecintaan (mahabbah) kepada Nabi direspons Wahabi sebagai syirk dan bid’ah. Oleh mereka amalan yang bersumber ‘urf ini, dicari argumentasinya melalui dalil-dali! syara’, bukan adat positif yang justru dibenarkan oleh Islam. Mereka menuduh karena di zaman Nabi tidak ada seperti itu, maka haram orang sekarang mengadakan segala hal yang di zaman Nabi tidak ada. Perbedaan furu’ lainnya antar mazhab dianggap pertentangan yang tak bisa dikompromi dan paling-paling digauli secara kaku hingga menimbulkan permusuhan. (Baharun, 2006)
Salah satu hal yang sering dimunculkan di permukaan adalah penyebutan bi jaah rasul (dengan kedudukan rasul), bi haqqi rasul (dengan kebenaran rasul), manakala umat Islam berdoa memohon sesuatu kepada Allah. Menurut orang-orang Wahabi itu, hal ini adalah perbuatan bid’ah dan musyrik tidak ada dasarnya baik nabi terdahulu maupun para sahabat melakukan hal itu, sehingga orang yang melakukannya dapat membawa kepada kekafiran.
Pandangan sempit semacam itu sebenarnya sudah di bahas oleh ulama-lama kita baik mutaqaddimin maupun mutaakhirin. Salah satunya adalah sebuah hadits sahih yang terdapat dalam kitab Al Ajwibatu Al Ghaliyah karangan Habib Zain bin Smith (Madinah). Bahwasannya diriwayatkan oleh Al Hakim, Tahbarani dan Al Baihaqi dari Umar bin Khattab ra. secara marfu’:
Karena seorang yang menganggap dirinya muslim, sangat tidak diperbolehkan mengkafirkan orang lain yang telah mengucapkan kalimat tauhid. Telah disebutkan dalam sebuah hadits sahih bahwa Rasul SAW ber-sabda:
“Sesungguhnya setan telah putus asa untuk disembah oleh’ orang-orang yang shalat di Jazirah arab, akan tetapi ia tidak putus asa untuk mengadu domba di antara sesama mereka”. (HR. Muslim dan Tirmidzi)
Sering
kali kita temukan dalam selebaran, majalah, internet dsb. yang berisi
penghujatan dan. pengkafiran terhadap orang-orang yang bertawasul kepada
Nabi SAW. Caci maki dan tuduhan syirik ini tidak hanya ditujukan kepada
sebagian dari kaum muslimin, Prof. Dr. Sayid Muhammad bin Alwi
Al-Maliky bahkan tidak luput dari caci maki dan tuduhan syirik oleh
segelintir kaum ini. Lewat sebuah buku yang berjudul Hadzihi Mafahimuna
guru besar ulama senusantara ini oleh Ibnu Mani’ dituduh sebagai
penyebar bid’ah dan orang musyrik. Secara kasar, ia mengeritik Abuya
Maliky yang bermazhab Maliki ini – seperti gaya kaum Khawarij yang
begitu mudah mengkafirkan lawan yang tak sefaham.
Upacara tahlil, pembacaan Maulid Nabi dan praktek rohaniah lain yang mencair dengan nuansa budaya – seperti Maulid Nabi yang hakikatnya madah (memuji) Rasul yang merupakan ekspresi kecintaan (mahabbah) kepada Nabi direspons Wahabi sebagai syirk dan bid’ah. Oleh mereka amalan yang bersumber ‘urf ini, dicari argumentasinya melalui dalil-dali! syara’, bukan adat positif yang justru dibenarkan oleh Islam. Mereka menuduh karena di zaman Nabi tidak ada seperti itu, maka haram orang sekarang mengadakan segala hal yang di zaman Nabi tidak ada. Perbedaan furu’ lainnya antar mazhab dianggap pertentangan yang tak bisa dikompromi dan paling-paling digauli secara kaku hingga menimbulkan permusuhan. (Baharun, 2006)
Salah satu hal yang sering dimunculkan di permukaan adalah penyebutan bi jaah rasul (dengan kedudukan rasul), bi haqqi rasul (dengan kebenaran rasul), manakala umat Islam berdoa memohon sesuatu kepada Allah. Menurut orang-orang Wahabi itu, hal ini adalah perbuatan bid’ah dan musyrik tidak ada dasarnya baik nabi terdahulu maupun para sahabat melakukan hal itu, sehingga orang yang melakukannya dapat membawa kepada kekafiran.
Pandangan sempit semacam itu sebenarnya sudah di bahas oleh ulama-lama kita baik mutaqaddimin maupun mutaakhirin. Salah satunya adalah sebuah hadits sahih yang terdapat dalam kitab Al Ajwibatu Al Ghaliyah karangan Habib Zain bin Smith (Madinah). Bahwasannya diriwayatkan oleh Al Hakim, Tahbarani dan Al Baihaqi dari Umar bin Khattab ra. secara marfu’:
“Ketika Adam menyadari akan kesalahannya, ia berkata: “Wahai Tuhan aku memohon kepadaMu dengan Hak (kedudukan) Muhammad ampunilah dosaku.”
Allah berfirman: “Bagaimana engkau mengenal Muhammad padahal aku belum
menciptakannya? “. Jawab Adam: “Wahai Tuhan, ‘ketika Engkau menciptakan
aku dengan tanganMu dan Engkau meniupkan ruhMu kepadaku, maka aku
mengangkat kepalaku dan aku lihat di kaki ‘Arsy tertulis “Tiada Tuhan
melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”. Maka aku tahu bahwa
Engkau tidak meletakkan nama orang lain di sisi namaMu yang paling
Engkau cintai.” Allah berftrman: “Apa yang kau katakan benar wahai Adam,
sesungguhnya Muhammad adalah makhluk yang paling Aku cintai, ketika
engkau memohon kepadaKu dengan kak Muhammad, maka Aku segera memberimu
ampun, dan andaikata bukan karena Muhammad, Aku tidak menciptakan
engkau.”
Bagi
orang yang munsyif dan berakal, kiranya hadits ini sudah cukup sebagai
landasan boleh bertawasul bi-haqqi Muhammad Bahkan masih banyak
pembahasan secara panjang lebar dari para ulama, diantaranya terdapat
dalam kitab Mafahim Yajib an Tushaha karangan Prof. Dr. Muhammad bin
Alwi Al-Maliky, dan Al Ajwibatu Al Ghaliyah karangan Habib Zain bin
Smith.Tentunya kajian yang dilakukan harus menggunakan hati yang bersih
dengan niatan mencari kebenaran Ilahi. Dengan banyak membaca buku dan
kitab-kitab karangan ulama shalih dan ikhlas, akan memberikan pengaruh
jiwa kepada kita untuk tidak mudah mengkafirkan atau menuduh orang lain
melakukan perbuatan bid’ah dan syirik.
Karena seorang yang menganggap dirinya muslim, sangat tidak diperbolehkan mengkafirkan orang lain yang telah mengucapkan kalimat tauhid. Telah disebutkan dalam sebuah hadits sahih bahwa Rasul SAW ber-sabda:
“Jika
seseorang mengkafirkan saudaranya, maka tuduhan itu akan menimpa salah
satu dari keduanya, jika tuduhan itu memang benar, maka tuduhan itu akan
mengenai orang yang dituduh, kalau tidak maka tuduhan itu akan kembali
kepada yang menuduh”. (HR. Muslim)
Imam Abu Bakar Al Baqillani telah berkata:
“Sesungguhnya
memasukkan seribu orang kafir ke dalam Islam di-karenakan satu tanda
misteri kelslam-an, lebih ringan dari pada mengkafirkan seorang muslim
dengan seribu tanda misteri kekafiran “.
Jika
mengkafirkan seorang muslim saja berakibat pada dosa yang besar,
bagaimana dengan pengkafiran yang dituduhkan pada sekelompok muslimin
yang terbanyak, dan menuduh mereka berbuat syirik hanya dikarenakan
mereka melakukan tawasul dan mohon barokah dengan atsar orang-orang
sha-leh? Padahal iman mereka kepada Allah amat kokoh, dan mereka terdiri
dari ulama’ulama yang memiliki sanad keilmuan sampai pada tabi’in,
sahabat dan Rasulullah? Kiranya untuk menjawab pandangan orang-orang
semacam ini, kita kemukakan sabda yang menyatakan::
“Sesungguhnya setan telah putus asa untuk disembah oleh’ orang-orang yang shalat di Jazirah arab, akan tetapi ia tidak putus asa untuk mengadu domba di antara sesama mereka”. (HR. Muslim dan Tirmidzi)
Sudah
jelas sekali, ini adalah upaya propaganda setan untuk memecah belah
sesama umat Islam. Sekarang tinggal umat Islam itu sendiri, maukah duduk
bersama bermusyawarah untuk tafahum saling memahami antar perbedaan
furu’, ataukah tetap pada sikap ashobiyahnya masing-masing hingga datang
kehancuran umat Islam?
Majalah Cahaya Nabawiy No.49Tahun V shafar 1428/Maret 200
Post A Comment: