Menjaga agama sesuai dengan ketentuan pembawa syariat (Rasulullah
SAW) pada dasarnya merupakan tanggung-jawab seluruh umat Islam, terutama
para ulama dan cendekiawan muslim. Ini penting dalam rangka membentengi
umat Islam secara keseluruhan dari ber-bagai paham yang rentan dan
kerap menyusup di tengah khairul-ummah ini. Agama merupakan tuntunan
yang tidak hanya bersifat personal tapi juga komunal. Kebodohan yang ada
pada umat tak boleh dibiarkan. Harus ada upaya-upaya kongkret untuk
memberikan pemahaman kepada mereka mengenai ajaran yang benar dan jauh
dari segala bentuk penyimpangan.
Kelak orang-orang bodoh tidak akan ditanya mengapa mereka bodoh,
tetapi yang berilmu akan ditanya mengapa membiarkan yang bodoh tetap
dalam kebodohan. Al-Qur’an dan sunnah Rasul harus lebih sering
disosialisasikan di tengah umat yang lebih kerap menerima
informasi-informasi sekuler atau hanya bersifat duniawi di tengah-tengah
era globalisasi ini. Juga pengaruh-pengaruh yang dihembuskan oleh
paham-paham sesat. Paham-paham menyimpang senantiasa tumbuh di setiap
kurun waktu dan tentu amat berbahaya jika tidak segera “diperangi”
dengan informasi dan tindakan yang sesuai Al-Qur’an dan Sunnah. Jika
pada era klasik (salaf) saja paham-paham menyimpang itu sudah
bermunculan, apalagi di era serba cepat dan canggih ini.
Umat Islam wajib menolak segala hal yang menyimpang dari Al-Qur’an
dan sunnah Rasul. Belakangan muncul berbagai isu di sekitar kita
sehingga berpotensi menimbulkan keresahan. Misalnya saja paham bahwa
ibadah shalat tidak harus dilakukan dengan bahasa Arab (muncul di
Malang), pelaksanaan shalat dengan menghadap gunung tertentu dan bukan
menghadap Qiblat (muncul di Trenggalek), ibadah haji tidak harus di
bulan Dzul-Hijjah, semua agama dianggap sama benarnya (JIL), pengakuan
adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW (kelompok Ahmadiyah Qadyani dan
lainnya), ibadah cukup dengan mengingat Tuhan dalam hati (Kebatinan),
paham bahwa akhirat tidak kekal (Agus Mustofa) dan masih banyak contoh
lainnya.
Semua contoh di atas merupakan paham yang bertentangan dengan
Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW. Demikian pula dengan beberapa sekte Islam
yang telah lebih dahulu muncul di era salaf, misalnya paham bahwa
manusia memiliki pilihan dan otoritas penuh atas segala yang
dilakukannya dan tak ada kaitannya dengan takdir Tuhan (Mu’tazilah dan
Qadariyah). Juga bahwa maksiat tidak masalah jika disertai iman
(Murji’ah), atau bahwa segala perbuatan hamba adalah takdir Tuhan semata
dan tak ada efeknya bagi diri makhluk termasuk perbuatan maksiat
(Jabariyah). Ada pula kelompok yang mengkufurkan atau mengharamkan orang
yang bertawassul dan ziarah kubur (Wahhabi, Muhammad Abduh, Rasyid
Ridho dan seterusnya).
Kelompok lain yang menyimpang dari sunnah Rasul misalnya kelompok
yang menganggap kemungkinan terjadinya peleburan Tuhan dengan
makhluk-Nya alias paham ittihad dan hulul (diprakarsai oleh Al-Hallaj,
Syekh Lemah Abang, para Sufi tak berilmu). Ada kelompok yang berlebihan
dalam menyanjung Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. namun memaki-maki
sahabat lainnya seperti Abu Bakar r.a. dan Umar bin Al-Khattab r.a. yang
keduanya sangat dicintai oleh Nabi SAW (Rafidhah dan Syiah Imamah
Itsna’asyariyah). Perhatikan juga kelompok yang berpendapat bahwa jika
seorang hamba telah mencapai puncak cintanya (kepada Allah) dan hatinya
jernih dari sifat lalai dan memilih iman di atas kufur, maka perintah
dan larangan Allah tidak berlaku lagi pada mereka. Mereka tidak akan
masuk neraka sekali pun mengerjakan dosa besar (Abahiyyin).
Ada pula kelompok aneh yang mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan
alam semesta dan selanjutnya apa pun yang terjadi adalah di luar
kehendak-Nya. Bahkan menurut aliran ini alam itu sendiri yang punya
kendali atas dirinya secara mutlak (kelompok Fulasifah Dahriyah yang
terpengaruh oleh pemikiran Plato dan Aritoteles). Kelompok Fulasifah
Ilahiyah lain lagi. Mereka mengakui adanya Tuhan namun mengingkari
kenabian dan kerasulan. Di samping semua kelompok di atas, ada kelompok
yang mengatakan bahwa keberadaan semesta merupakan efek niscaya dari
keberadaan Tuhan (Fulasifah Thab’iyah, dan kelompok apa pun yang
mengingkari atau menyekutukan Allah SWT atau mengkufuri keberadaan alam
akhirat.
Memahami Arti Bid’ah
Ajaran agama memang tidak memberikan toleransi pada penyimpangan dan
perbuatan mengada-ada (bid’ah) yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi.
Tindakan bid’ah harus dibasmi atau setidaknya dipersempit ruang
geraknya. Hal itu tak lain dalam rangka melindungi mayoritas umat yang
oleh Nabi SAW disebut dengan istilah al-Firqat an-Najiyat (kelompok yang
bakal selamat di akhirat) dari kemungkinan menyimpang. Kita harus
senantiasa mengingat beberapa pesan Nabi SAW terkait tindakan bid’ah dan
munculnya sempalan-sempalan pembawa ajaran sesat tersebut seperti
beberapa hadits di bawah ini: “Barangsiapa memperbaharui dalam urusan
kami (agama) ini sesuatu yang tidak bersumber dari padanya maka
tertolak.” (HR Al-Bukhari-Muslim dari Aisyah r.a.). Nabi SAW juga
bersabda : “Maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah
dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad dan sejelek-jelek
perbuatan adalah segala perbuatan yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap
bid’ah adalah sesat.” (HR Muslim-Turmudzi dari Jabir bin Abdillah r.a.)
Yang juga perlu dipahami adalah bahwa tidak semua amalan yang tidak
terdapat di masa Rasulullah SAW dengan serta-merta termasuk kategori
bid’ah dhalalah. Imam Asy-Syafi’i menegaskan hal itu. Kegiatan-kegiatan
semisal dzikir secara kolektif sebagaimana dalam majlis-majlis tarekat
dan semacamnya, atau kegiatan memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW
dengan membaca shalawat secara bersama-sama sebagaimana tradisi yang ada
di negeri ini tidak bisa digolongkan pada bid’ah dhalalah. Substansi
amalan ini terkandung dalam ajaran Islam. Bahkan hal itu sangat baik dan
perlu ditradisikan, sebab bisa menambah rasa cinta kita kepada Allah
SWT dan Rasul- Nya, menjadi momen untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah dan
memberikan pemahaman agama kepada umat. Rasulullah SAW bersabda :
“Barangsiapa membuat suatu tuntunan baik dalam Islam maka baginya pahala
dan pula pahala orang yang menirunya tanpa mengurangi pahala orang yang
menirunya sedikit pun, dan barangsiapa membuat suatu tuntunan jelek
maka baginya dosa dan pula dosa orang yang menirunya tanpa mengurangi
dosa orang yang menirunya sedikit pun.” (HR Muslim dan At-Turmudzi dari
Al-Mundzir bin Jarir dan ayahanya)
Oleh karena itu maka tak ada alasan untuk menolak kegiatan-kegiatan
positif dan bermanfaat seperti itu. Bid’ah dhalalah adalah perbuatan
yang mengada-ada yang tidak bersumber sama sekali pada dalil agama atau
bahkan bertentangan dengan dalil agama yang sudah jelas. Misalnya
seseorang melakukan shalat ba’diyah Ashar atau ba’diyah Shubuh. Contoh
lain adalah anggapan bahwa masih mungkin ada nabi lagi setelah Nabi
Muhammad SAW.
Urusan agama menyangkut keselamatan manusia di dunia hingga akhirat.
Oleh karenanya maka menimba ilmu agama harus dari sumber yang bisa
dipertanggung- jawabkan. Dalam sejarah agama-agama samawi sebelum Islam
telah terjadi distorsi-distorsi yang sangat menodai agama. Ini menjadi
biang perselisihan yang terjadi di tengah Ahlul-Kitab. Kemurnian agama
lantas dipertanyakan karena telah bercampur dengan berbagai kepentingan
yang kian mengaburkan ajaran yang sesungguhnya. Kita sebagai umat Islam
jangan membiarkan hal semacam itu terjadi pada agama kita ini.
Para perawi hadits sekaliber Imam Malik bin Anas, Al-Bukhari, Muslim
An-Naisaburi, Abu Daud, Ahmad bin Hanbal, At-Turmudzi, An-Nasa’i dan Ibn
Majah benar-benar selektif dalam menerima riwayat sunnah yang menjadi
sumber kedua ajaran Islam setelah Al-Qur’an. Hal itu mereka lakukan tak
lain karena ingin menjaga agar ajaran agama tidak sampai terkontaminasi
oleh riwayat-riwayat yang tidak bersumber dari Nabi SAW. Dari metode
seleksi mereka itulah lantas muncul klasifikasi riwayat menjadi shaheh,
hasan dan dhaif. Apa yang terjadi pada agama-agama samawi pra Islam
menjadi pelajaran amat penting bagi perjalanan ajaran Islam di tengah
umat.
Originalitas Dan Totalitas
Setelah agama (Islam) ditawarkan melalui dialog yang logis dan rasional
sebagai sebuah ideologi, maka tak perlu dipersoalkan lagi berbagai ragam
ajaran amaliyah yang ada di dalamnya. Agama pada dasarnya menyangkut
sebuah tindakan taat tanpa reserve. Hanya itu cara efektif untuk
mengantisipasi penodaan dan penyebalan terhadap ajaran agama. Agama
harus diterima secara utuh dan sebagai sebuah totalitas sikap. Tak perlu
ada yang dikurangi atau ditambahi. Barangkali itulah arti yang
terkandung dalam firman Allah SWT : “Wahai orang-orang yang beriman,
masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti
langkahlangkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.”(QS
Al-Baqarah [2]: 208)
Untuk menjadi umat Islam yang kaffah sebagaimana pada ayat di atas
tak ada cara lain selain dengan memahami ajaran Islam dengan benar dan
komprehensif. Pemahaman yang parsial (setengah-setengah) kerap
menjadikan seseorang terjebak dalam kesalahpahaman yang kadang sampai
berakibat fatal, bahkan melakukan penyimpulanpenyimpulan yang jauh dari
maksud yang sebenarnya. Lebih fatal lagi apabila pemahaman keliru itu
lantas ditularkan atau diajarkan kepada orang lain yang juga tidak
mengerti agama. Orang seperti itu termasuk kategori sesat dan
menyesatkan.
Sebagai contoh adalah pandangan bahwa Islam tidak perlu didakwahkan
kepada umat lain yang sudah beragama berlandaskan ayat 6 dalam QS
Al-Kafirun : “Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” Paham-paham yang
merupakan sempalan-sempalan dalam Islam kerap muncul karena pemahaman
yang parsial semacam itu. Mereka menggunakan satu dalil secara lahiriah
dan mencampakkan dalil lain yang terkait. Bisa juga karena kesalahan
persepsi tentang suatu dalil yang melahirkan sebuah pengertian yang
tidak dimaksudkan dari dalil tersebut.
Lantas mereka menularkannya kepada orang lain melalui kekuatan yang
dimilikinya seperti terjadi ketika orang-orang berpaham Mu’tazilah,
Rafidhah atau bahkan sekuler berkuasa di sebuah wilayah atau negara.
Umat memerlukan orang-orang yang memiliki kapasitas keilmuan agama yang
mumpuni dan berjiwa penegak kebenaran yang pemberani. Hanya dengan itu
ajaran Islam dapat terpelihara dari upaya kontaminasi dan distorsi. Jika
Allah SWT telah menjamin Al-Qur’an dari pengubahan sebagaimana dalam QS
Al-Hijr [15]: 9), maka kita juga wajib menjaga agama ini dari
penyimpangan-penyimpangan dan paham-paham yang tidak bertanggung-
jawab…..!
dicopi dr: http://www.sunniyahsalafiyah.net/2013/03/27/melindungi-umat-dari-paham-menyimpang/
Navigation
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar