Halaman

Cari

Mitos Masyarakat Antara Kufur dan Tidak!

Share it:

Di tengah derasnya perkembangan zaman yang semakin pesat, mitos dan khurafat masih tetap mengakar kuat dalam tubuh masyarakat, utamanya mereka yang hidup di pedesaan. Masih ada beberapa mitos dan khurafat yang masih dipercaya. Takhayul dan mitos merupakan kepercayaan yang berada di luar batas akal manusia atau bisa dikatakan kepercayaan yang hanya ada dalam khayalan dan rekaan belaka, tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Versi takhayul misalnya, adalah anggapan atau keyakinan kalau melakukan ini hari ini maka akan akan begini, kalau melakukan itu hari itu maka akan tertimpa begitu.

Dahulu kala, masyarakat sangat kental dengan hal-hal yang  berbau takhayul semacam ini. Banyak mitos (takhayul) yang dipercaya. Misalnya mitos hari baik. Untuk melakukan sesuatu yang sangat penting, sebagian masyarakat masih mencari jam, hari, tanggal dan bulan yang baik. Mitos hari baik ini tertuang dalam buku perimbon, sebuah buku yang berisikan sistem bilangan pelik untuk
menghitung hari mujur untuk mengadakan selamatan, mendirikan rumah, memulai perjalanan dan mengurus segala macam kegiatan penting, baik bagi perorangan maupun masyarakat. Selain mitos hari baik, masih banyak lagi-lagi mitos yang berkembang.

 Di antaranya adalah mitos kehamilan; wanita hamil memiliki beberapa pantangan, kalau pantangan itu dilakukan akan mempengaruhi terhadap keselamataan cabang bayi yang dikandungnya. Mitos menyapu pada malam hari yang katanya akan menyebabkan fakir miskin. Dan masih banyak lagi mitos-mitos unik yang tetap mengakar kuat di masyrakat sampai sekarang. Entah siapa dan dari mana mitos ini ? Tidak bisa diketahui secara pasti. Namun, yang pasti mitos telah ada sejak dulu dan menjadi keyakinan koliktif masyarakat secara turun-temurun.


Sepintas, takhayul yang berkembang di masyarakat bisa berdampak negative terhadap akidah Islam.  Ketika mitos telah menjelma sebagai akidah yang diyakini, maka dapat menjeremuskan seseorang pada kesyirikan; menggantungkan kesuksesan dan kegagalan sesuatu kepada selain Allah. Dalam al-Qur`an dan Hadis menggantungkan adanya seuatu kepada selain Allah disebut dengan istilah Tathayyur. Istilah ini muncul dari kebiasaan masyarakat Arab Jahilyah. Ketika mereka hendak bepergian, mereka menangkap burung, lalu dilepas terbang (tathayyur).

Kalau terbang ke arah kiri -menurut mitos mereka- akan ada hal buruk yang akan menimpa hingga mereka urung bepergian.
Islam datang dengan membawa konsep tauhid, suatu keyakinan bahwa hanya ada satu Tuhan dan hanya Dia lah satu-satunya Dzat Yang Menciptakan dan Mengatur segala sesuatu yang terjadi. Bukan yang lain. Setelah Nabi Muhammad resmi diangkat menjadi rasul, dengan tegas beliau menolak  praktik tathayyur yang terjadi di masyarakat Arab Jahiliyah tempo dulu. Nabi bersabda : “Bukan golongan kita orang  yamg masih menggantungkan sesuatu kepada selain Allah I (Tathayyur) (HR Bazzar). Al-Qur`an juga menolak tegas. Dalam al-Qur`an dikisahkan kebiasaan masyarakat Mesir kuno yang sering menjadikan Nabi Musa sebagai ’kambing hitam’ atas kesialan yang menimpa mereka. ”Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Itu adalah karena (usaha) kami”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui” (QS Al-A’raf [04]:131).
Orang-orang Arab Jahiliyah tak jauh berdeda; “Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami”.”(QS Yasin [36]:19).
Intinya, hanya Allah yang dapat mewujudkan segala sesuatu. Ma lam yasya’ lam yakun. Itu adalah keyakinan paten yang tidak dapaat ditawar. Oang Islam dituntut untuk memilki keyakinan itu. Tetapi keyakinan ini sebenarnya tidak menghalangi seseorang untuk berusaha mencari sebab untuk mencapai segala tujuannya dengan tetap meyakini bahwa itu hanya sebagai sebab dan Allah lah yang menjadi musabbibul Asbabnya .


Kiai Nawawi Abd Jalil, pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri dalam rubrik Sowan di Buletin SIDOGIRI edisi 25, pernah ditanya mengenai mitos hari baik dan nahas yang terjadi di masyarakat . Beliau menjawab, bahwa sesuai keterangan yang ada dalam kitab Talkhîsul Murâd, jika ada yag bertanya apakah hari ini baik untuk melangsungkan akad nikah atau pindah rumah maka jawaban itu tak perlu dijawab. Sebab Syari’at mencegah keyakinan seperti itu dengan larangan yang cukup tegas. Namun Ibnul Fakrah menyatakan komentar Imam Syafi’i, jika ada seorang peramal mengakatan seperti itu namun ia tetap beri’tikad bahwa sesungguhnya segala sesuatu terjadi atas kehendak dan kekuasaan Allah, hanya saja Allah memberlakukan adat, bahwasanya seperti itu akan terjadi jika melakukan seperti ini, maka kepercayaan ini sama sekali tidak bermasalah atau tidak haram.


Dengan begitu,  intinya semua tergantung pada keyakinan. Mitos hari baik misalnya, bisa saja menyebabkan syirik bila ada keyakinan bahwa hari baik itu yang mempengaruhi secara total. Jika tidak seperti itu maka tidak ada masalah. Bahkan dianjurkan, apabila mencari hari baik karena menaruh harapan; usaha yang ia lakukan pada hari itu sebaik harinya, dengan tetap meyakini bahwa semua yang terjadi berjalan atas kehendak Allah. Nabi sendiri sering bertafâul. Pada saat khutbah salat istisqa’  Nabi membolak-balikkan selendang yang beliau pakai sebagai bentuk pengharapan, supaya dengan membolak-balikkan sorban musibah yang menimpa kaum muslimini saat itu juga berbalik menjadi baik.

Dalam pandangan ulama fikih, tafa’ul menjadi suatu kausa hukum kesunnatan. Anak yang baru lahir dianjurkan diberi nama yang baik dan indah sebagai bentuk tafa’ul,  supaya kelak ia tumbuh menjadi orang baik. Hewan aqiqahnya pun sunnat dimasak dengan bumbu yang manis-manis dengan harapan (tafa’ul) ketika dewasa ia berperangai semanis namanya. Begitu pula kesunatan  menyirami kuburan dengan air dingin, karena ada tafa’ul agar mayyit merasakan dingin dalam peristirahatan terakhirnya. (HR Thabrani)

Dilihat secara peraktiknya, Tafâ’ul juga bisa dibilang mitos. Peraktik tafa’ul dan tathayyur tak jauh berbeda. Keduanya tak bisa dijangkau akal. Perbedaan antara keduanya hanya terletak keyakinan pelakunya. Memberi nama baik kepada anak karena meyakini bahwa, nama baik itu yang menjadikan sebagai orang baik jelas syirik. Tetapi apabila hal itu hanya sekadar menaruh harapan baik agar dengan nama baik itu seorang menjadi orang baik dengan seizin Allah I maka hal itu dianjurakan. Begitu pula dengan mencari hari baik dan semacamnya. Semua tergantung pada niat pelakunya; sebagai bentuk tafâ’ul atau tathayyur. Wallahu a’lam


dikutip dari media sidogiri.net
Share it:

Aqidah

Aswaja

Post A Comment:

0 comments: