MAHROM adalah sekumpulan perempuan yang haram dan tidak sah untuk dinikahi selama-lamanya karena pemuliaan pada diri mereka. (1)
Kaitan hukum-hukum Islam pada hubungan mahrom adalah : (2)
1. Diperbolehkan untuk bertatap muka atau berduaan.
2. Bolehnya untuk bersentuhan seperti bersalaman dengan ketentuan tanpa rasa syahwat. Adapun jika dengan syahwat, maka diharamkan walaupun dengan sesama mahrom.
3. Tidak membatalkan wudhu’ jika bersentuhan kulit dengan mereka.
Dalil para wanita yang mahrom adalah firman Allah Ta’ala :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (23)
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’ : 23)
Jumlah perempuan-perempuan yang mahrom secara keseluruhan ada 18, yang terbagi ke dalam 3 sebab sebagai berikut :
1. SEBAB SENASAB, ada 7 perempuan, yaitu :
- Ibu kandung atau nenek (ibu dari ibu) dan terus ke atasnya.
- Anak perempuan kandung atau cucu perempuan dan terus ke bawah.
- Saudara perempuan, baik sekandung, se-bapak atau se-ibu.
- Keponakan perempuan dari saudara laki-laki (anak perempuan dari saudara laki-laki, baik saudara se-kandung, se-bapak atau se-ibu)
- Keponakan perempuan dari saudara perempuan (anak perempuan dari saudara perempuan, baik saudara se-kandung, se-bapak atau se-ibu).
- Bibi dari Ayah kandung (saudara perempuan ayah kandung, baik saudara perempuan se-kandung, se-bapak atau se-ibu)
- Bibi dari Ibu kandung (saudara perempuan ibu kandung, baik saudara perempuan se-kandung, se-bapak atau se-ibu)
2. SEBAB SEPERSUSUAN (Rodho’), ada 7 perempuan sebagaimana perempuan-perempuan sebab senasab di atas, yaitu :
- Ibu susu yaitu perempuan yang telah menyusuinya atau menyusui orang yang melahirkannya (orang tuanya), hingga ke atas (ibu dari ibu susu dan ke atasnya).
- Anak perempuan susu yaitu : anak perempuan yang telah disusui oleh istrinya, atau anak perempuan dari orang yang telah disusui istrinya hingga ke bawah.
- Saudara perempuan sepersusuan.
- Keponakan perempuan dari saudara laki-laki sepersusuan (anak perempuan dari saudara laki-laki sepersusuan).
- Keponakan perempuan dari saudara perempuan sepersusuan (anak perempuan dari saudara perempuan sepersusuan).
- Bibi dari ayah susu (saudara perempuan ayah susunya).
- Bibi dari ibu susu (saudara perempuan dari ibu susunya).
3. SEBAB PERKAWINAN (Mushoharoh), ada 4 perempuan yaitu : (3)
- Mertua perempuan (ibu dari istri baik ibu kandung ataukah ibu susu istri dan terus ke atas).
- Menantu perempuan (istri dari anak laki-lakinya baik anak laki-laki kandung ataukah anak susu. Begitu juga istrinya cucu, baik cucu kandung ataukah sepersusuan).
- Ibu Tiri (istri ayah baik ayak kandung atau ayah susunya) walaupun belum pernah dikumpuli (di jima’) oleh ayahnya. Begitu juga istri dari kakek, baik kakek dari ayah ataukah dari ibu, baik sekandung atau sepersusuan.
- Anak tiri (anak bawaan istri baik anak kandung atau anak susu istri) dengan syarat suami sudah mengumpuli istrinya.
PERMASALAHAN TENTANG MAHROM.
- Selain mahrom atau perempuan yang haram untuk dinikahi di atas, terdapat beberapa perempuan yang haram untuk dinikahi, namun tidak berlaku untuk selamanya melainkan hanya sementara. Pada golongan ini tidak berlaku hukum-hukum di atas, sehingga tetap diharamkan untuk berduaan atau bersentuhan dan bisa membatalkan wudhu’ dengan menyentuhnya.
Mereka yang harom dinikahi sementara adalah perempuan-perempuan yang ada hubungan dengan istri karena senasab atau sepersusuan dimana jika dikira-kirakan salah satunya laki-laki akan saling haram untuk menikah. Perempuan-perempuan ini ada 3 yaitu : (4)
- Saudara perempuan istri (ipar perempuan), baik saudara perempuan istri senasab atau sepersusuan.
- Bibi istri dari ayah istri, baik ayah kandung istri ataukah ayah susu.
- Bibi istri dari ibu istri, baik ibu kandung istri ataukah ibu susu.
2. Terdapat pula perempuan yang haram untuk dinikahi selama-lamanya namun bukan dikategorikan MAHROM, seperti para istri Rasulullah SAW. Diharamkan bagi setiap umat bahkan para Nabi sekalipun untuk menikahi istri-istri Rasulullah SAW. Hanya saja, mereka tidak dikategorikan mahrom karena keharamannya bukan karena memuliakan mereka, melainkan karena memuliakan Rasulullah SAW. (1)
3. Ibu tiri (istri ayah) langsung menjadi mahrom dengan hanya dinikahi oleh ayah (dengan akad nikah saja) walaupun belum pernah dikumpuli sekalipun atau bahkan sudah dicerai oleh ayahnya sekalipun. (3)
3. Anak tiri (anak bawaan istri) menjadi mahrom dengan ayah tirinya jika sudah mengumpuli (menjima’ ibunya). Adapun jika belum pernah dikumpuli, maka tidak menjadi mahrom, sehingga jika ayah tirinya bercerai dengan ibunya, boleh untuk menikahi anak perempuan mantan istrinya. (3)
4. Anak perempuan dari mantan istri yang sudah pernah dikumpuli (dijima’) tetap menjadi mahrom walaupun terlahir setelah mencerainya, seperti ia mencerai istrinya dengan talak ba’in lalu mantan istri menikah lagi dan melahirkan anak perempuan, maka si anak perempuan ini menjadi mahrom dengan mantan suami ibunya. (5)
5. Pada sebab mahrom karena perkawinan (mushoharoh) bisa menetapkan mahrom jika dari perkawinan yang sah. Adapun jika dari pernikahan yang tidak sah, seperti tanpa wali dan saksi atau dari perzinahan, maka tidak menetapkan hukum mahrom. (6)
(1) حاشية البجيرمي على المنهج - (ج 1 / ص 168(
مُحَرَّمٌ وَهِيَ مَنْ حَرُمَ نِكَاحُهَا عَلَى التَّأْبِيدِ بِسَبَبٍ مُبَاحٍ لِحُرْمَتِهَا فَخَرَجَ بِالْأَوَّلِ أُخْتُ الزَّوْجَةِ وَبِالثَّانِي أُمُّ الْمَوْطُوءَةِ بِشُبْهَةٍ أَيْ : وَبِنْتُهَا لِأَنَّهَا وَإِنْ حَرُمَتْ عَلَى التَّأْبِيدِ لَكِنْ لِسَبَبٍ لَا يَتَّصِفُ بِإِبَاحَةٍ وَلَا غَيْرُهَا وَبِالثَّالِثِ أَزْوَاجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَنَّ حُرْمَةَ نِكَاحِهِنَّ لِحُرْمَتِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح ل ، وَزَوْجَاتُ نَبِيِّنَا يَحْرُمْنَ عَلَى سَائِرِ الْأُمَمِ حَتَّى عَلَى الْأَنْبِيَاءِ وَأَمَّا زَوْجَاتُ بَاقِي الْأَنْبِيَاءِ فَإِنَّهُنَّ يَحْرُمْنَ عَلَى الْأُمَمِ فَقَطْ ، وَيَحِلُّ نِكَاحُهُنَّ لِلْأَنْبِيَاءِ شَيْخُنَا ح ف
حاشيتا قليوبي - وعميرة - (ج 1 / ص 139(
وَالْمَحْرَمُ مَنْ حَرُمَ نِكَاحُهَا بِنَسَبٍ أَوْ رَضَاعٍ أَوْ مُصَاهَرَةٍ ، وَسَيَأْتِي بَيَانُ ذَلِكَ فِي النِّكَاحِ .
( وَالْمَحْرَمُ مَنْ حَرُمَ نِكَاحُهَا ) أَيْ عَلَى التَّأْبِيدِ ، فَلَا تَرِدُ أُخْتُ الزَّوْجَةِ ، وَخُرُوجُ أُصُولِ الْمَوْطُوءَةِ بِشُبْهَةٍ وَفُرُوعِهَا بَيِّنٌ وَكَذَا لَا يَرِدُ عَلَيْهِ أُمَّهَاتُ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُنَّ .
(2) مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج - (ج 12 / ص 245)
تَنْبِيهٌ : قَدْ يُشْعِرُ تَشْبِيهُ وَطْءِ الشُّبْهَةِ بِمِلْكِ الْيَمِينِ أَنَّ وَطْءَ الشُّبْهَةِ يُوجِبُ التَّحْرِيمَ وَالْمَحْرَمِيَّةَ ، وَلَيْسَ مُرَادًا بَلْ التَّحْرِيمُ فَقَطْ فَلَا يَحِلُّ لِلْوَاطِئِ بِشُبْهَةٍ النَّظَرُ إلَى أُمِّ الْمَوْطُوءَةِ وَبِنْتِهَا ، وَلَا الْخَلْوَةُ وَالْمُسَافَرَةُ بِهِمَا ، وَلَا مَسُّهُمَا كَالْمَوْطُوءَةِ بَلْ أَوْلَى ،
(3) كفاية الأخيار/1/482)
(وأربع بالمصاهرة: وهن أم الزوجة، والربيبة إذا خلا بالأم، وزوجة الأب، وزوجة الابن) هذا هو السبب الثالث وهو المصاهرة فيحرم بها على التأبيد أربع: إحداهن أم امرأتك، وكذا جداتها بمجرد العقد سواء في ذلك من النسب أو الرضاع لقوله تعالى (وأمهات نسائكم) وفي وجه لا تحرم إلا بالدخول كالربيبة، وهو ضعيف. الثانية بنت الزوجة سواء بنت النسب أو الرضاع، وكذا بنات أولادها بشرط أن يدخل بالأم فإن بانت منه قبل الدخول بها حللن له، وإن دخل بها حرمن عليه على التأبيد لقوله تعالى (وربائبكم اللاتي في حجوركم من نسائكم اللاتي دخلتم بهن فإن لم تكونوا دخلتم بهن فلا جناح عليكم) وقول الشيخ [إذا خلا بالأم] المراد بالخلوة الدخول بها لأنه اصطلاح عرفي، والربيبة بنت الزوجة من غيره وإن لم تكن في حجره، وذكر الحجور ورد على الغالب فإن قلت: لم حرمت أم الزوجة بمجرد العقد بخلاف البنت فإنها لا تحرم إلا بالدخول على أمها؟ فالجواب أن الزوج يبتلى في العادة بمعاملة أم الزوجة عقب العقد لأنها ترتب أمر بنتها فحرمت بمجرد العقد ليتمكن من الخلوة بها لذلك بخلاف النبت. واعلم أنه لا يحرم على الرجل بنت زوج الأم ولا أمه ولا بنت زوج البنت ولا ابنته ولا أم زوجة الأب ولا ابنتها ولا أم زوجة الابن ولا ابنتها ولا زوجة الربيب ولا زوجة الراب. الثالثة زوجة الأب حرام، وكذا زوجة الأجداد سواء في ذلك من جهة الأب أو الأم، وسواء في ذلك من النسب أو الرضاع لقوله تعالى {ولا تنكحوا ما نكح آباؤكم من النساء} فاسم الأبوة صادق على الكل باعتبار الحقيقة والمجاز أو باعتبار الحقيقة مطلقة والله أعلم. الرابع زوجة الابن حرام وكذا بنو الابن وإن سفلوا، سواء في ذلك النسب والرضاع لقوله تعالى {وحلائل أبنائكم الذين من أصلابكم} والمراد أنه لا تحرم زوجة الولد الذي تبناه، وهذا التحريم بالعقد والله أعلم.
(4) مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج - (ج 12 / ص 253(
ثُمَّ شَرَعَ فِي الْقِسْمِ الثَّانِي وَهُوَ مَا لَا يَتَأَبَّدُ تَحْرِيمُهُ ، وَهُوَ ثَلَاثَةُ أَنْوَاعٍ ، وَقَدْ بَدَأَ بِالْأَوَّلِ مِنْهَا فَقَالَ ( وَيَحْرُمُ ) ابْتِدَاءً وَدَوَامًا ( جَمْعُ ) امْرَأَتَيْنِ بَيْنَهُمَا قَرَابَةٌ أَوْ رَضَاعٌ لَوْ فَرَضَتْ إحْدَاهُمَا ذَكَرًا حَرُمَ تَنَاكُحُهُمَا كَجَمْعِ ( الْمَرْأَةِ وَأُخْتِهَا أَوْ عَمَّتِهَا أَوْ خَالَتِهَا مِنْ رَضَاعٍ أَوْ نَسَبٍ ) وَلَوْ بِوَاسِطَةٍ لِقَوْلِهِ تَعَالَى : { وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ } [ النِّسَاء ] ، وَلِخَبَرِ : { لَا تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلَا الْعَمَّةُ عَلَى بِنْتِ أَخِيهَا وَلَا الْمَرْأَةُ عَلَى خَالَتِهَا وَلَا الْخَالَةُ عَلَى بِنْتِ أُخْتِهَا لَا الْكُبْرَى عَلَى الصُّغْرَى وَلَا الصُّغْرَى عَلَى الْكُبْرَى } ، رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَغَيْرُهُ وَصَحَّحُوهُ ، وَلِمَا فِيهِ مِنْ قَطْعِيَّةِ الرَّحِمِ ، وَإِنْ رَضِيَتْ بِذَلِكَ فَإِنَّ الطَّبْعَ يَتَغَيَّرُ ، وَإِلَيْهِ أَشَارَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي خَبَرِ النَّهْيِ عَنْ ذَلِكَ بِقَوْلِهِ : { إنَّكُمْ إذَا فَعَلْتُمْ ذَلِكَ قَطَّعْتُمْ أَرْحَامَهُنَّ } كَمَا رَوَاهُ ابْنُ حِبَّانَ وَغَيْرُهُ
(5) هامس الإقناع/2/164)
وكذا بنت الزوجة ان كانت موجودة قبل تزوجه بأمها لم تصح التشبيه بها لطرو تحريمها عليه بنكاح امها وان حدثت بعد بأن ابان زوجته فتزوجت بغيره واتت منه ببنت فهي محرمة من حين وجودها فيصح التشبيه بها اهـ
(اعانة الطالبين/3/255)
والحاصل) تحرم الربيبة وهي بنت الزوجة وبناتها وبنت الربيب وهو ابن الزوجة وبناتها. وقوله وإن سفلت، الأولى وإن سفلتا، أي بنت ابنها وبنت ابنتها، وهذه الغاية يغني عنها قوله ولو بواسطة (قوله: إن دخل بها) قيد في تحريم فصل الزوجة (قوله: بأن وطئها) تصوير للدخول والمراد وطئها في حياتها، ومثل الوطء استدخال منيه المحترم في حال نزوله وادخاله: إذ هو كالوطء في أكثر أحكامه في هذا الباب، كذا في التحفة، (وقوله: ولو في الدبر) غاية في الوطء، أي ولو كان الوطء في دبرها (قوله: وإن كان العقد فاسداً) غاية في التحريم بالدخول: أي يحرم فصل الزوجة على زوجها ولو كان العقد فاسداً بأن فقد شرطاً من شروطنه المارّة (قوله: وإن لم يطأها) أي الزوجة، وهو مقابل قوله بأن وطئها المجعول تصويراً للدخول. والمناسب في المقابلة أن يقول وإن لم يدخل بها. وقوله لم تحرم بنتها: أي الزوجة. قال في شرح المنهج: إلا أن تكون منفية بلعانه.
(حاشية البجيرمي على الخطيب )
فَائِدَةٌ: الرَّبِيبَةُ بِنْتُ الزَّوْجَةِ وَبَنَاتُهَا وَبِنْتُ ابْنِ الزَّوْجَةِ وَبَنَاتُهَا ذَكَرَهُ الْمَاوَرْدِيُّ فِي تَفْسِيرِهِ, وَمِنْ هَذَا يُعْلَمُ تَحْرِيمُ بِنْتِ الرَّبِيبَةِ وَبِنْتِ الرَّبِيبِ ; لأَنَّهَا مِنْ بَنَاتِ أَوْلادِ زَوْجَتِهِ, وَهِيَ مَسْأَلَةٌ نَفِيسَةٌ يَقَعُ السُّؤَالُ عَنْهَا كَثِيرًا وَكُلُّ مَنْ وَطِئَ امْرَأَةً بِمِلْكِ يَمِينٍ حُرِّمَ عَلَيْهِ أُمَّهَاتُهَا وَبَنَاتُهَا وَحُرِّمَتْ هِيَ عَلَى آبَائِهِ تَحْرِيمًا مُؤَبَّدًا بِالإِجْمَاعِ, وَكَذَا الْمَوْطُوءَةُ الْحَيَّةُ بِشُبْهَةٍ فِي حَقِّهِ كَأَنْ ظَنَّهَا زَوْجَتَهُ أَوْ أَمَتَهُ يَحْرُمُ عَلَيْهِ أُمَّهَاتُهَا وَبَنَاتُهَا, وَتَحْرُمُ هِيَ عَلَى آبَائِهِ وَأَبْنَائِهِ كَمَا يَثْبُتُ فِي هَذَا الْوَطْءِ النَّسَبُ, وَيُوجِبُ الْعِدَّةَ, لا الْمَزْنِيُّ بِهَا فَلا يَثْبُتُ بِزِنَاهَا حُرْمَةُ مُصَاهَرَةٍ فَلِلزَّانِي نِكَاحُ أُمِّ مَنْ زَنَى بِهَا وَبِنْتِهَا, وَلابْنِهِ وَأَبِيهِ نِكَاحُهَا هِيَ وَبِنْتَهَا ; لأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى امْتَنَّ عَلَى عِبَادِهِ بِالنَّسَبِ وَالصِّهْرِ فَلا يَثْبُتُ بِالزِّنَا كَالنَّسَبِ
(6) كفاية الأخيار/1/482)
واعلم أن هذا التحريم محله في العقد الصحيح، أما بالنكاح الفاسد فلا تتعلق به حرمة المصاهرة لأنه لا يفيد حل المنكوحة، نعم وطء الشبهة يحرم، فإذا تزوج امرأة ووطئها أبوة أبو ابنه بشبهة انفسخ نكاحها لأنه معنى يؤبد الحرمة فإذا طرأ أبطل النكاح كالرضاع
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar