Wahabi Berdusta Atas Nama Ulama Madzhab Imam Syafi’i
Pada tanggal 23 Juli 2011, penulis  mengisi acara Daurah pemantapan Ahlussunnah Wal-Jama’ah di Pondok  Pesantren Sunan Pandan Aran, Sleman Yogyakarta yang diasuh oleh KH.  Mu’tashim Billah Mufid. Dalam acara tersebut, salah seorang peserta  mengajukan pertanyaan kepada penulis tentang hukum selamatan kematian,  di mana dalam selebaran Manhaj Salaf, media siluman kaum Wahabi, selamatan atau suguhan makanan kematian dianggap haram secara mutlak. Selebaran tersebut berjudul Imam Syafie Mengharamkan Kenduri Arwah, Tahlilan, Yasinan dan Selamatan.  Setelah saya memeriksa selebaran tersebut, ternyata isinya penuh dengan  kebohongan dan pemalsuan terhadap pernyataan para ulama madzhab  Syafi’i.  Ulama menyatakan makruh, selebaran tersebut merubahnya menjadi haram.
Saya menjadi heran, bukankah selama ini  kaum Wahabi sangat keras menyuarakan penolakan terhadap hadits dha’if  dan palsu, akan tetapi mengapa mereka sendiri justru kreatif memalsu  pernyataan para ulama? Di antara kebohongan dan pemalsuan selebaran  tersebut adalah pernyataannya yang berulang-ulang bahwa Imam Syafi’i dan  madzhab Syafi’i mengharamkan “kenduri arwah” yang lebih dikenali dengan  berkumpul beramai-ramai dengan hidangan jamuan (makanan) di rumah si  Mati.
Kemudian selebaran tersebut mengutip pernyataan ulama dalam kitab I’anah al-Thalibin, Hasyiyah al-Qulyubi wa ‘Amirah dan Mughni al-Muhtaj.  Anehnya, semua kutipan dari ketiga kitab tersebut menyatakan bahwa  selamatan kematian selama tujuh hari atau lainnya itu dihukumi makruh.  Akan tetapi penulis selebaran tersebut menegaskan bahwa tradisi  selamatan kematian tersebut dihukumi haram. Sepertinya penulis selebaran  tidak mengerti perbedaan antara hukum makruh dan hukum haram.Selebaran  tersebut banyak melakukan pemelintiran dan distorsi terhadap pernyataan  para ulama madzhab Syafi’i dalam kitab-kitab fiqih mu’tabaroh.  Oleh  karena itu, catatan ini akan mengupas secara ringkas tentang hukum  suguhan kematian menurut para ulama.
Suguhan makanan yang dibuat oleh  keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta’ziyah, diperselisihkan  di kalangan ulama menjadi 3 pendapat.
Pertama, pendapat yang menyatakan makruh. Pendapat ini diikuti oleh mayoritas ulama madzhab empat, seperti dikutip oleh Syaikh al-Bakri dalam kitab I’anah al-Thalibin dengan mengutip fatwa gurunya, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan berikut ini:
مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ  اْلاِجْتِمَاعِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعِ الطَّعَامِ مِنَ  الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ (2/145) وَفِيْ حَاشِيَةِ الْعَلاَّمَةِ الْجَمَلِ  عَلَى شَرْحِ الْمَنْهَجِ وَمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ وَالْمَكْرُوْهِ  فِعْلُهَا مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ الْوَحْشَةِ وَالْجُمَعِ  وَاْلأَرْبَعِيْنَ بَلْ كُلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ إِنْ كَانَ مِنْ مَالِ  مَحْجُوْرٍ أَوْ مِنْ مَيِّتٍ عَلَيْهِ دَيْنٌ أَوْ يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ  ضَرَرٌ أَوْ نَحْوُ ذَلِكَ اهـ (2/146) وَلاَ شَكَّ أَنَّ مَنْعَ النَّاسِ  مِنْ هَذِهِ الْبِدْعَةِ الْمُنْكَرَةِ فِيْهِ إِحْيَاءٌ لِلسُّنَّةِ  وَإِمَاتَةٌ لِلْبِدْعَةِ وَفَتْحٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ أَبْوَابِ الْخَيْرِ  وَغَلْقٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ أَبْوَابِ الشَّرِّ فَإِنَّ النَّاسَ  يَتَكَلَّفُوْنَ تَكَلُّفًا كَثِيْرًا يُؤَدِّيْ إِلَى أَنْ يَكُوْنَ  ذَلِكَ الصُّنْعُ مُحَرَّمًا (2/146).
“Apa yang dilakukan oleh manusia  berupa berkumbul di rumah keluarga duka cita dan menyediakan makanan  adalah termasuk perbuatan bid’ah yang munkar. Dalam Hasyiyah al-Jamal  diterangkan, “Di antara bid’ah yang munkar adalah tradisi selamatan  (kenduri) kematian yang disebut wahsyah, juma’, dan arba’in (nama-nama  tradisi di Hijaz). Bahkan semua itu dihukumi haram apabila makanan  tersebut diambil dari harta mahjur ‘alaih (orang yang belum dibolehkan  mentasarufkan hartanya seperti anak yang belum dewasa), atau harta si  mati yang memiliki hutang, atau dapat menimbulkan madarat pada si mati  tersebut dan sesamanya.” Tidak diragukan lagi bahwa mencegah manusia  dari bid’ah yang munkar ini, dapat menghidupkan sunnah, mematikan  bid’ah, membuka sekian banyak pintu-pintu kebaikan dan menutup sekian  banyak pintu-pintu kejelekan. Karena manusia yang melakukannya telah  banyak memaksakan diri yang membawa pada hukum keharaman.” (Syaikh  al-Bakri, I’anah al-Thalibin, juz 2 hal. 145-146).
Demikian fatwa Sayyid Ahmad Zaini Dahlan al-Syafi’i yang dikutip oleh Syaikh al-Bakri dalam I’anah al-Thalibin. Kesimpulan dari fatwa tersebut adalah sebagai berikut. Pertama,  selamatan pada hari kematian, sampai hari ketujuh dan hari empat puluh  adalah makruh, apabila makanan yang disediakan berasal dari harta  keluarga si mati.
Kedua, selamatan tersebut bisa menjadi haram, apabila makanan disediakan dari harta mahjur ‘alaih (orang yang tidak boleh mengelola hartanya seperti anak yatim/belum  dewasa), atau dari harta si mati yang mempunyai hutang, atau dapat  menimbulkan madarat dan sesamanya. Demikian kesimpulan fatwa Sayyid  Ahmad bin Zaini Dahlan yang bermadzhab Syafi’i. Fatwa yang sama juga  dikemukakan oleh ulama madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali.
Meski demikian, apabila makanan yang  disediakan kepada penta’ziyah tersebut berasal dari bantuan para  tetangga, maka status hukum makruhnya menjadi hilang dan berubah menjadi  tidak makruh. Hal ini seperti dikemukakan oleh Syaikh Abdul Karim  Bayyarah al-Baghdadi, mufti madzhab Syafi’i di Iraq, dalam kitabnya Jawahir al-Fatawa. Dalam hal ini, ia berkata:
اِنِ اجْتَمَعَ الْمُعِزُّوْنَ  الرُّشَدَاءُ وَأَعْطَى كُلٌّ مِنْهُمْ بِاخْتِيَارِهِ مِقْدَارًا مِنَ  النُّقُوْدِ أَوْ جَمَعُوْا فِيْمَا بَيْنَهُمْ مَا يُكْتَفَى بِهِ  لِذَلِكَ الْجَمْعِ مِنَ الْمَأْكُوْلاَتِ وَالْمَشْرُوْبَاتِ  وَأَرْسَلُوْهُ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ أَوْ إِلَى أَحَدِ جِيْرَانِهِمْ  وَتَنَاوَلُوْا ذَلِكَ بَعْدَ الْوُصُوْلِ اِلَى مَحَلِّ التَّعْزِيَةِ  فَلاَ حَرَجَ فِيْهِ هَذَا وَاللهُ الْهَادِيْ إِلَى الْحَقِّ  وَالصَّوَابِ.
“Apabila orang-orang yang  berta’ziyah yang dewasa berkumpul, lalu masing-masing mereka menyerahkan  sejumlah uang, atau mengumpulkan sesuatu yang mencukupi untuk konsumsi  perkumpulan (selamatan kematian) berupa kebutuhan makanan dan minuman,  dan mengirimkannya kepada keluarga si mati atau salah satu tetangganya,  lalu mereka menjamahnya setelah sampai di tempat ta’ziyah itu, maka hal  tersebut tidak mengandung hukum kesulitan (tidak apa-apa). Allah lah  yang menunjukkan pada kebenaran.” (Jawahir al-Fatawa, juz 1, hal. 178).
Kedua, pendapat yang menyatakan boleh atau mubah.  Pendapat ini diriwayatkan dari Khalifah Umar, Sayyidah Aisyah dan Imam  Malik bin Anas. Riwayat dari Khalifah Umar bin al-Khatthab disebutkan  oleh al-Hafizh Ibnu Hajar sebagai berikut:
عَنِ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ  كُنْتُ أَسْمَعُ عُمَرَ رضي الله عنه يَقُوْلُ لاَ يَدْخُلُ أَحَدٌ مِنْ  قُرَيْشٍ فِيْ بَابٍ إِلَّا دَخَلَ مَعَهُ نَاسٌ فَلاَ أَدْرِيْ مَا  تَأْوِيْلُ قَوْلِهِ حَتَّى طُعِنَ عُمَرُ رضي الله عنه فَأَمَرَ صُهَيْبًا  رضي الله عنه أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثَلاَثًا وَأَمَرَ أَنْ يُجْعَلَ  لِلنَّاسِ طَعَاماً فَلَمَّا رَجَعُوْا مِنَ الْجَنَازَةِ جَاؤُوْا وَقَدْ  وُضِعَتِ الْمَوَائِدُ فَأَمْسَكَ النَّاسُ عَنْهَا لِلْحُزْنِ الَّذِيْ  هُمْ فِيْهِ. (المطالب العالية، 5/328).
“Dari Ahnaf bin Qais, berkata: “Aku  mendengar Umar berkata: “Seseorang dari kaum Quraisy tidak memasuki satu  pintu, kecuali orang-orang akan masuk bersamanya.” Aku tidak mengerti  maksud perkataan beliau, sampai akhirnya Umar ditusuk, lalu  memerintahkan Shuhaib menjadi imam sholat selama tiga hari dan  memerintahkan menyediakan makanan bagi manusia. Setelah mereka pulang  dari jenazah Umar, mereka datang, sedangkan hidangan makanan telah  disiapkan. Lalu mereka tidak jadi makan, karena duka cita yang  menyelimuti.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Mathalib al-‘Aliyah, juz 5 hal.  328).
Hal yang sama juga dilakukan oleh Sayyidah Aisyah, istri Nabi SAW. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ  زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ  الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ  تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ  تَلْبِيْنَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيْدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِيْنَةُ  عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ اَلتَّلْبِيْنَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ  الْمَرِيْضِ تُذْهِبُ بَعْضَ الْحُزْنِ. رواه مسلم.
“Dari Urwah, dari Aisyah, istri Nabi SAW,  bahwa apabila seseorang dari keluarga Aisyah meninggal, lalu  orang-orang perempuan berkumpul untuk berta’ziyah, kemudian mereka  berpisah kecuali keluarga dan orang-orang dekatnya, maka Aisyah menyuruh  dibuatkan talbinah (sop atau kuah dari tepung dicampur madu) seperiuk  kecil, lalu dimasak. Kemudian dibuatkan bubur. Lalu sop tersebut  dituangkan ke bubur itu. Kemudian Aisyah berkata: “Makanlah kalian,  karena aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Talbinah dapat menenangkan hari orang yang sedang sakit dan menghilangkan sebagian kesusahan.” (HR. Muslim [2216]).
Dua hadits di atas mengantarkan pada  kesimpulan bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada  orang-orang yang berta’ziyah tidak haram. Khalifah Umar berwasiat, agar  para penta’ziyah diberi makan. Sementara Aisyah, ketika ada keluarganya  meninggal, menyuruh dibuatkan kuah dan bubur untuk diberikan kepada  keluarga, orang-orang dekat dan teman-temannya yang sedang bersamanya.  Dengan demikian, tradisi pemberian makan kepada para penta’ziyah telah  berlangsung sejak generasi sahabat Nabi SAW.
Demikian pula Imam Malik bin Anas,  pendiri madzhab Maliki, berpandangan bahwa hidangan kematian yang telah  menjadi tradisi masyarakat dihukumi jaiz (boleh), dan tidak makruh.  Dalam konteks ini, Syaikh Abdullah al-Jurdani berkata:
يَجُوْزُ مِنْهُ مَا جَرَتْ بِهِ  الْعَادَةُ عِنْدَ الْإِماَمِ مَالِكٍ كَالْجُمَعِ وَنَحْوِهَا وَفِيْهِ  فُسْحَةٌ كَمَا قَالَهُ الْعَلاَّمَةُ الْمُرْصِفِيُّ فِيْ رِسَالَةٍ لَهُ.
“Hidangan kematian yang telah  berlaku menjadi tradisi seperti tradisi Juma’ dan sesamanya adalah boleh  menurut Imam Malik. Pandangan ini mengandung keringanan sebagaimana  dikatakan oleh al-Allamah al-Murshifi dalam risalahnya.” (Syaikh  Abdullah al-Jurdani, Fath al-‘Allam Syarh Mursyid al-Anam, juz 3 hal.  218).
Ketiga, pendapat yang mengatakan sunnah.  Pendapat ini diriwayatkan dari kaum salaf sejak generasi sahabat yang  menganjurkan bersedekah makanan selama tujuh hari kematian untuk  meringankan beban si mati. Dalam hal ini, al-Imam Ahmad bin Hanbal  meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd:
عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قَالَ طَاوُوْسُ  إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِيْ قُبُوْرِهِمْ سَبْعاً فَكَانُوْا  يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الْأَياَّمَ.
“Dari Sufyan berkata: “Thawus  berkata: “Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di dalam kubur selama  tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah makanan  selama hari-hari tersebut.”
Hadits di atas diriwayatkan al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Zuhd, al-Hafizh Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ (juz 4 hal. 11), al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur (32), al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (juz 5 hal. 330) dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi (juz 2 hal. 178).
Menurut al-Hafizh al-Suyuthi, hadits di  atas diriwayatkan secara mursal dari Imam Thawus dengan sanad yang  shahih. Hadits tersebut diperkuat dengan hadits Imam Mujahid yang  diriwayatkan oleh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur dan hadits Ubaid bin Umair yang diriwayatkan oleh Imam Waki’ dalam al-Mushannaf,  sehingga kedudukan hadits Imam Thawus tersebut dihukumi marfu’ yang  shahih. Demikian kesimpulan dari kajian al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi.
Tradisi bersedekah kematian selama tujuh  hari berlangsung di Kota Makkah dan Madinah sejak generasi sahabat,  hingga abad kesepuluh Hijriah, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh  al-Suyuthi.
Berdasarkan paparan di atas, dapat kita  simpulkan bahwa tradisi hidangan makanan dari keluarga duka cita untuk  orang-orang yang berta’ziyah masih diperselisihkan di kalangan ulama  salaf sendiri antara pendapat yang mengatakan makruh, mubah dan sunnat.  Di antara mereka tidak ada pendapat yang menyatakan haram.  Bahkan untuk selamatan tujuh hari, berdasarkan riwayat Imam Thawus,  justru dianjurkan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat dan berlangsung  di Makkah dan Madinah hingga abad kesepuluh Hijriah. Wallahu a’lam.
(Oleh: Muhammad Idrus Ramli)
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar