Halaman

Cari

AL-QUR’AN BENAR-BENAR UNIK DALAM PENCATATANNYA

Share it:
Di antara semua literatur agama yang masih ada di dunia, kitab suci Al-Qur’an benar-benar unik. Pencatatan dan pemeliharaannya adalah suatu mu’jizat! Karena Al-Qur’an sangat berbeda dengan pola penggambaran manusia biasa; Hanya pandangan dangkal dan bermusuhan yang mengatakan Al-Qur’an membingungkan dan tak pantas. Polanya benar-benar berbeda. Unik. Penuh Mu’jizat. Izinkan saya memperkuat pernyataan saya:
Gaya Bahasa Manusia
Setiap kitab agama lain dibangun pada pola: “pada suatu ketika…” atau “Rubah dan anggur… Serigala dan anak biri-biri,” dan lain-lain, yaitu:
1. a. Pada Mulanya (pada suatu ketika)
Allah menciptakan langit dan bumi… (Ditambah penekanan). (Injil – Kejadian 1:1)
b. Pada mulanya (pada suatu ketika)
Firman itu bersama-sama dengan Allah dan firman itu adalah Allah… (Ditambah penekanan). (Injil -Yohanes 1:1)
c. Inilah silsilah (yang asli, pada mulanya) Yesus Kristus, anak Daud, anak Abraham … (Ditambah penekanan). (Injil – Matius 1: 1)
2. Sesudah Musa, hamba Tuhan itu mati (terjadi lagi, pada suatu ketika) berfirmanlah Tuhan kepada Yosua … (Ditambah penekanan). (Injil – Yosua 1: 1)
3. Sesudah Yosua mati, (terjadi lagi, pada suatu ketika) orang Israel bertanya kepada Tuhan …(Ditambah penekanan). (Injil – Hakim-hakim 1: 1)
4. Terjadi (terjadi lagi, pada suatu ketika) pada zaman para hakim memerintah ada kelaparan di tanah … (Ditambah penekanan). (Injil – Rut 1: 1).
5. Ada seorang laki-laki (pada suatu ketika) dari Ramataim-Zofim, dari pegunungan Efraim … (Ditambah penekanan). (Injil – l Samuel 1: 1).
6. Terjadi (terjadi lagi, pada suatu ketika) setelah Saul mati … (Ditambah penekanan). (Injil – 2 Samuel 1: 1 ).
7. Saat ini (pada suatu ketika) Raja Daud telah tua dan lanjut umurnya, dan biarpun ia diselimuti badannya tetap dingin. (Injil – l Raja-raja l: 1).
8. Saat ini (pada suatu ketika) pada tahun pertama zaman koresy, raja negeri Persia … (Ditambah penekanan). (Injil – Ezra 1: 1).
9. Terjadi (terjadi lagi, pada suatu ketika) pada zaman Ahasyweros… (Ditambah penekanan). (Injil – Ester l:1)
  1. Terjadi (terjadi lagi, pada suatu ketika) pada tahun ketiga puluh dalam bulan yang ke empat, pada tanggal lima bulan itu … (Ditambah penekanan). (Injil – Yehezkiel 1: 1)
Jika contoh-contoh ini tidak membingungkan Anda, maka tidak ada lagi yang akan membingungkan Anda! Tak terelakkan lagi Anda terpesona dengan sindrom “pada suatu ketika”. Anda telah diperkuat dengan kegemaran cerita buatan manusia, bahkan jika mereka benar. Gaya bahasa, pola, dan penggambaran ini adalah bagaimana manusia berfikir, berbicara dan menulis. Jangan salahkan mereka karena manusia akan bersifat manusia.
Semua keterangan di atas berasal dari Versi King James yang sudah direvisi (KJV= King James Version), versi yang paling populer di antara umat Kristen dunia. Anda harus memperhatikan bahwa setiap ayat dalam kutipan di atas adalah 1: l, 1: 1, berarti pasal pertama dan ayat pertama dari Injil. Yang mulai dengan “Saat ini, saat ini, saat ini!” Coba, lihat pada diri Anda sendiri berapa banyak lagi kata seperti pada mulanya dapat Anda temukan dalam “Books of Books,” Bagaimanapun saya harus memperingatkan Anda bahwa indeks Injil tidak akan menolong. Anda harus menomori halaman sama seperti yang saya lakukan.
Indeks Tidak Akan Menolong
Saya mencari keterangan dari dua indeks Injil. Satu yang diterbitkan oleh Jehovah’s Witnesses (Saksi-saksi Yehovah) –Sekte Kristen yang paling cepat tumbuhnya dalam umat Kristen. Yang kedua adalah “Young’s Analytical Concordance to the Bible.” Kedua indeks ini masing-masingnya lebih dari 300.000 judul. Terakhir tidak kurang dari 277 daftar baru, tetapi tidak terdapat sebuah kata “Saat ini” (pada suatu ketika) dari contoh-contoh yang diberikan di atas. Anda dapat menebak alasannya!
Saya tidak ingin mengganggu kesabaran Anda lebih jauh. Saya sadar bahwa Anda menginginkan bukti. “Baiklah, sekarang, tolong ceritakan kepada kami tentang wahyu Al-Qur’an!:
“Saat itu malam ke l7 bulan Ramadhan Nabi Islam Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam berada di dalam gua Hira, di pinggiran kota Makkah. Dia biasa menjauhkan diri ke gunung Hira untuk mencari kedamaian, ketenangan dan agar dapat merenung. Biasanya ia kuatir tentang masalah-masalah kaumnya –mabuk-mabukan, perzinahan, penyembahan berhala, peperangan, ketidakadilan dan kekejaman mereka. Begitu banyak sehingga Gibbon, sejarawan terkemuka, terpaksa mencatat dalam tulisannya “Decline and Fall of the Roman Empire” (Kemunduran dan Keruntuhan Kekaisaran Roma):
“Kebrutalan manusia (bangsa Arab), hampir tanpa perasaan, sangat sulit dibedakan dari dunia hewan yang lain.”
Petapa Hira tersebut sedang merindukan sebuah penyelesaian. Dia biasa menjauhkan diri ke tempat pengasingan secara sendirian atau kadang-kadang dengan istri tercintanya Ummul Mu’minin (Ibu orang-orang beriman) Khadijatul-Kubra.
Seruan Pertama
Suatu malam –Malam Lailatul-Qadr– (Malam kekuatan dan keunggulan) ketika dunia tenang dengan kedamaian Tuhan dan seluruh alam menghadap ke arah Tuhannya –pada pertengahan malam tersebut kitab Tuhan dibuka bagi jiwa yang dahaga. Jibril, malaikat Allah, tampak kepadanya, dan memerintahkan dalam bahasa daerahnya ‘iqra’ yang berarti “baca!” atau “bawakan” atau “latih” atau “nyatakan” dengan keras! Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam sangat takut dan benar-benar tidak siap menghadapi kejutan ini. Ini bukanlah upacara kelulusan atau pemakaian jubah. Dalam ketakutan dan keragu-raguan bercampur takut ia berseru ‘Maa-ana beqaa-Ri’in (Saya tidak dapat membaca!)” Malaikat tersebut mengulangi perintah ‘iqra’ untuk yang kedua kali, dengan tanggapan yang sama dari Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Jibril memeluknya dengan keras dan memerintahkannya untuk yang ketiga kali:
Bacalah ! Dengan (menyebut) Nama Tuhanmu, yang menciptakan ….
Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam sekarang mengerti bahwa yang perlu ia lakukan adalah mengulang apa yang telah dikatakan, karena kata Arab ‘iqra’ berarti: baca., bawakan atau ulangi! Mengikuti ayat pertama Surat Al-’Alaq (Surat ke 96 dari Al-Qur’an) di atas. Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam mengulang dan membawakan empat ayat lagi pada seruan pertamanya dan kemudian ayat-ayat tersebut dicatat dalam bentuk tertulis pada kitab suci Al-Qur’an.
“Tunggu, Tuan Deedat!” saya hampir dapat mendengar jeritan Anda. Semua yang sedang Anda katakan kepada kami tentang wahyu Al-Qur’an ini tidak berbeda dengan sejumlah contoh lainnya yang harus Anda buktikan tentang adanya tangan manusia di dalamnya. Apakah semuanya berbuat keliru dan bukan bersifat ketuhanan?”
Tepat sekali! Saya senang Anda melihat dengan jelas bagaimana subyektifnya pikiran, perkataan dan pencatatan manusia. Sejak Anda meminta saya “tolong ceritakan pada kami tentang wahyu Al-Qur’an,” dan saya mulai memberi tanggapan –Saat itu malam ke 17 bulan Ramadhan ….” sampai– “dan kemudian dicatat dalam bentuk tertulis pada kitab suci Al-Qur’an” adalah kata-kata saya sendiri, meminjam dari kitab suci Al-Qur’an, dari kitab hadits, dan dari sejarah serta dari mulut orang-orang yang berpengetahuan yang saya dengar selama puluhan tahun lebih. Naskah Al-Qur’an ini tidak tercemar oleh tangan manusia. Inilah bagai-mana Al-Qur’an dijaga. Saya cantumkan di bawah ini lima ayat pertama dari wahyu pertama Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, untuk pengamatan dan studi kritis Anda.
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah,
3. Bacalah, dan Tuhan-mulah Yang Maha Pemurah,
4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.
5. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
(QS. Al-’Alaq: 1-5)
 Sebuah Catatan Unik

Setiap teks Al-Qur’an, dalam bahasa Arab atau dalam bentuk terjemahan dalam bahasa apaquran pun akan mengikuti pola

ini. Tidak ada jika atau tetapi. Anda tidak akan menemukan dalam teks atau terjemahan bahwa Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam “berusia 40 tahun ketika menerima seruan pertamanya.” Anda tidak akan menemukan bahwa “ia di dalam gua gunung Hira.” Anda tidak akan menemukan bahwa “ia melihat malaikat Jibril” atau bahwa “ia ketakutan,” atau bagaimana reaksi dan tanggapannya terhadap perintah “Iqra’!” Bahwa ketika malaikat tersebut pergi setelah melengkapi 5 ayat pertama tersebut, “Muhammad berlari ke rumahnya sekitar 3 mil sebelah selatan Makkah menemui istri tercinta Khadijah dan mengatakan apa yang telah terjadi dan meminta sang istri menyelimutinya, menyelimutinya!” Semua ini apa yang saya namakan gaya bahasa “pada suatu ketika!” Kitab suci Al-Qur’an tidak menggambarkan apapun tentang ini, benar-benar sebuah narasi dan pemeliharaan yang unik. Singkatnya ini mu’jizat!
Lebih jauh, tidak seperti usaha seni literatur manusia manapun, di mana segalanya mulai dengan yang permulaan: kata pertama dan ayat pertama wahyu Al-Qur’an bukanlah surat pertama dan ayat pertama dari Al-Qur’an –Ayat-ayat tersebut menduduki surat ke 96 dari Al-Qur’an, sebagai penulis ketuhanan (Tuhan Yang Maha Kuasa) telah mengajarkan utusan pilhan-Nya, Muhammad Shallallabu Alaihi wa Sallam. Tidak ada kitab agama di bumi ini yang mirip dengannya atau mengikuti pola ini, karena tidak ada wahyu yang (dinyatakan tanpa bukti) dipelihara keasliannya ketika diwahyukan!
Seorang Psikolog Canada
Saya mendapat kehormatan berbagi pikiran tentang seruan pertama Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, sebagaimana termuat dalam 5 ayat pertama Surat Al-’Alaq (surat ke 96) seperti terlihat pada pembahasan sebelumnya, dengan seorang pemuda dari Canada. Saya sedang membawanya dalam sebuah tour ke masjid terbesar di belahan bumi bagian selatan. Selagi bercakap-cakap, saya menanyakan pekerjaannya. Dia mengatakan sedang mengambil kuliah master di bidang psikologi. “Psikologi?” saya berkata, dan dengan segera menarik perhatiannya pada 5 ayat pertama surat yang sedang didiskusikan. Saya menanyakannya bagaimana ia akan menerangkan tentang perintah suci dan pengalaman Muhammad yang berbicara tentang “Membaca, menulis dan belajar sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya,” sesuatu yang bukan masalahnya saat itu, bukan pula masalah kaumnya. Bagaimana pikiran seorang manusia yang subyektif dapat berlatih kata-kata ini. Saya berkata, “Terangkanlah!” Dia mengatakan tidak dapat dan mengakui sudah bergulat dengan persoalan itu. Saya berkata, “Dalam kasus ini kami seharusnya menerima perkataan manusia tersebut.” Dan, saya mengutip ayat pertama surat An-Najm:
“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang dia-jarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.” (QS. An-Najm: 1-5).
Dan, Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam berulang kali mengatakan kepada kaumnya:
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa.” (QS. Al-Kahfi: 110).
Pemuda Canada tersebut dengan sopan memberi tanggapan; “Saya harus memikirkan masalah ini dengan serius.” Hanya jika kita membiasakan diri kita dengan fakta-fakta dari kitab suci Al-Qur’an, kita akan dapat membuka percakapan dengan ahli dalam pengetahuan apa pun.
Mu’jizat Jurnalistik
Sebagai pusat kegiatan, IPCI menarik banyak orang untuk berdialog dan berdiskusi, termasuk jurnalis dan wartawan. Segera setelah saya menyadari bahwa bidang kegiatan orang yang bertanya kepada saya adalah jurnalistik, saya mengatakan kepadanya bahwa saya akan senang memperlihatkan kitab suci Al-Qur’an kepadanya sebagai sebuah “Mu’jizat jurnalistik”. Tak ada seorang pun menolak untuk mendengarnya. Saya memulai dengan cerita nabi suci Musa Alaihis-salam, dalam gaya bahasa dan pola “Pada suatu ketika” . Itu tidak dapat diberhentikan. Namun kami tidak dapat memberikan rincian tentang “Musa dan the Bulrushes” atau bahkan perincian masa kecilnya, ibu, dan saudara perempuannya,” (QS. Thaha: 38-40 dan Al-Qashash: 7-13). Kita harus melewati perincian tersebut. Saya memulainya dengan:
Kecelakaannya di Dalam Kota
Musa Alaihis-salam mendatangi dua pria yang sedang berkelahi, seorang berasal dari sukunya sendiri dan yang lainnya seorang musuh bangsanya. Dia menolong orang Yahudi menghadapi orang Mesir dan dalam perbantahan menampar orang yang kejam tersebut terlalu keras sehingga ia mati.
Musa Alaihis-salam kemudian melarikan diri dari negaranya menuju padang pasir Sinai dan mendapatkan dirinya di antara kaum Midianites. Di sini ia menolong dua orang gadis yang sedang kesukaran dan ditawari sebuah pekerjaan oleh ayah mereka Jethro. Setelah menyelesaikan perjanjian kerjanya selama 8 tahun lebih, Musa Alaihis-salam mulai bosan dengan kehidupan dusunnya. Bagi seorang manusia yang telah tumbuh besar dengan keluarga kerajaan, di tengah kesibukan dan ketergesaan kota, ia menjadi resah. Dia menginginkan perubahan dan meminta izin untuk memisahkan diri dari mertuanya. Jethro orang yang sangat rasional dan praktis. Dia mengizinkan Musa Alaihis-salam pergi.
Musa Mempelopori Sebuah Perjalanan
Musa Alaihis-salam pergi dengan istri dan anak-anaknya, bersama dengan domba dan kambing bagiannya yang biasa digembalakan untuk ayah mertuanya.
Setelah beberapa waktu ia dan keluarganya sampai di Sinai. Dia kehilangan arah dari kediaman terakhir tempatnya beristirahat. Dia kehabisan persediaan daging masak yang dibawanya. Masih terdapat cukup Matzos, roti kering Yahudi yang tidak beragi. Masalahnya adalah daging. Dia harus menyembelih seekor domba atau kambing. Itu mudah. Kesulitannya adalah membuat api yang merupakan tugas yang sulit, karena memerlukan waktu setengah hari menggosok dua materi yang berbeda. Tidak ada korek api atau geretan pada zaman itu. Dia menangguh-nangguhkan. Menunda segala sesuatunya untuk hari ini, atau besok dan masalah dagingnya akan terpecahkan, ia berpikir … “Mana mu’jizat yang dijanjikan!” Tuan Deedat?
Sejauh ini saya hanya memberikan latar belakang cerita tersebut. Mu’jizatnya adalah, untuk menyingkat semua hal dan banyak lagi (cerita) di atas hanya dalam 4 ayat pendek -4 kalimat pendek dalam prosa yang paling indah. Tetapi untuk menghargai prestasi tersebut, saya harus menarik perhatian Anda kepada sesuatu yang saya senang jika Anda memperhatikan apa yang bagi saya merupakan puncak jurnalistik.
Plakat-plakat Surat Kabar
Saya tinggal sekitar 30 km utara kota Durban, di mana kantor saya berada. Sebelum pembangunan N2 (jalan raya lintas) yang menghubungkan kota Durban, saya biasanya mengambil jalan pantai (pinggir laut) menuju Durban. Rute ini membuat saya melewati Amphiteater di depan pantai Durban. Pada perpotongan teater tersebut saya selalu mengamati penjual surat kabar yang sedang menawarkan koran pagi “The Natal Mercury,” untuk dijual. Dia mempunyai sebuah plakat harian dengan judul utama untuk menarik para pembeli. Setelah berulang-ulang membaca plakat tersebut saya memutuskan tidak membeli surat kabar hari itu, tetapi ketika memarkir mobil di central Durban sewaktu melewati penjual surat kabar yang lain, saya akhirnya membeli surat kabar tersebut.
Sesudah mengalami sejumlah perubahan keputusan seperti itu, saya mulai bertanya pada diri sendiri alasan perubahan pikiran saya tersebut. Saya menemukan plakat yang berbeda meski surat kabar yang ditawarkan sama. Plakat di depan pantai dibuat menyeru para pelanggan Eropa sebaliknya plakat di wilayah yang saya lalui ditujukan kepada komunitas Asia. Dengan perluasan plakat tersebut untuk wilayah Afrika dan kulit berwarna menyebabkan mereka membeli surat kabar yang sama.
Maka jurnalis yang pandai adalah orang yang dapat menciptakan plakat yang menyeru keempat kelompok ras utama setiap hari.
Itu akan menjadi karya agung jurnalistik! Para jurnalis tanpa ragu setuju dengan alasan ini. Marilah kita bersama-sama menganalisa Al-Qur’an berdasarkan alasan ini.
Seruan Yang Universal
Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, Nabi Islam berada di Madinah, dan dikelilingi oleh orang-orang Yahudi, Kristen, Islam, musyrik dan munafik di dalam kota. Nabi suci tersebut menyebarkan beritanya (wahyu Tuhan) untuk semua jenis masyarakat ini. Apa yang harus ditulis pada plakatnya untuk menarik perhatian setiap kelompok yang bermacam-macam ini? Dia disuruh menyatakan:
‘Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa?’ (QS. Thahaa: 9).
Dapatkah Anda membayangkan kegemparan tersebut? Orang-orang Kristen dan Yahudi akan selalu menunggu untuk mendengar lebih jauh, mengharap Muhammad berbuat sebuah kebodohan sendiri, karena mereka bertanya-tanya dalam diri mereka sendiri, apa yang dapat diketahui orang Arab ini tentang Musa karena ia seorang ummi (tidak dapat menulis). Umat Islam haus pengetahuan, mereka akan terus merindukan –tolong katakan kepada kami segala sesuatu yang Anda dapat tentang Musa Alaihis-salam.
Orang-orang musyrik (politheis) dan munafik menikmati diskusi tiga sisi tentang Musa Alaihis-salam: antara umat Islam, Kristen dan Yahudi. Setiap orang benar-benar memperhatikan Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam melanjutkan:
“Lihatlah,
Dia melihat sebuah api!”
Dramatis! Anda hampir dapat memvisualisasikan adegan tersebut. Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam sedang berbicara seperti telegrap. Memerlukan waktu sekitar 2 ribu tahun setelah kelahiran Yesus Kristus bagi bangsa Kristen dan Yahudi terbesar di bumi (Amerika Serikat yang kuat) untuk mencapai kesempurnaan yang tinggi dalam bidang periklanan untuk merumuskan slogan, dalam istilah Perusahaan Western Union Telegraph, “Jangan Menulis -(pakailah) Telegraph!” Sekolah jurnalistik mana yang diikuti Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk memimpin super American sizzlemanship? Dia disuruh meneruskan:
“… Lalu berkatalah ia kepada keluarganya: ‘Tinggallah kamu (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu.” (QS. Thahaa: 10).
Tulisan Cepat Yang Didiktekan
Silahkan bandingkan hal tersebut di atas dengan terjemahan Al-Qur’an berbahasa Inggris lainnya dengan teman atau lawan, dan Anda akan menemukan kata-kata dengan keringkasan dan keekonomisan yang sama. Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak sedang melakukan latihan apapun dalam tulisan ringkasnya. Dia hanya mengucapkan dengan jelas firman Tuhan sewaktu dibisikkan ke dalam hatinya melalui perantara malaikat Jibril. Kita harus mengingat bahwa tidak ada Injil berbahasa Arab, pada abad 6 M, ketika Nabi Muhammad didiktekan Al-Qur’an.
Sekarang tolonglah diri Anda sendiri. Silahkan bedakan wahyu Al-Qur’an ini dengan cerita Injil seperti isi dalam kitab kedua Injil, Kitab keluaran, pasal 1, 2, dan 3 yang mendiskusikan aspek kehidupan Nabi suci Musa Alaihis-salam yang sedang kita bicarakan ini. Saya mengutip permulaan cerita dari Injil:
“Sekarang inilah nama anak Israel yang datang ke Mesir bersama-sama dengan Yakub; mereka datang dengan keluarganya masing-masing. Ruben, Simeon, Lewi dan Yehuda; Isakhar; Zebulon dan Benyamin; dan serta Naftali, Gad dan Asyer. Seluruh keturunan yang diperoleh Yakub berjumlah tujuh puluh jiwa. Tetapi Yusuf telah ada di Mesir.” (Injil – Keluaran 1: 1-5).
Musa Memulai
Pemanasan sederhana! Inikah bagaimana Tuhan berbicara? Silahkan bandingkan 5 ayat Injil ini dengan 4 ayat Al-Qur’an yang disalin ulang di bawah ini.
Dalam penggambaran Al-Qur’an, Musa Alaihis-salam sangat membutuhkan dua hal sewaktu berfikir di Sinai dengan jamaah dan keluarganya. Dia menginginkan ‘api’ untuk memasak dagingnya, dan ‘petunjuk’ menuju beberapa komunitas yang ramah di padang pasir. Allah membentangkan rencananya. Musa Alaihis-salam dibuat ‘memulai’ misinya dari ilusi pembakaran batu bara menuju kenyataan tentang pembakaran api spiritual dalam jiwa manusia selama ribuan tahun dan sebuah petunjuk yang benar sebagai penuntun manusia.
‘Api’ yang dilihat Musa Alaihis-salam, bukanlah api biasa. Baginya berarti sebuah cahaya api miliknya sendiri yang mudah, api tersebut juga menunjukkan kehadiran manusia lain yang darinya ia dapat memperoleh informasi dan petunjuk.
“Maka ketika ia datang ke tempat api itu ia dipanggil, ‘Hai Musa. Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu, sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa.” (QS. Tha-haa: 11-12).
Sejarah spiritual Musa Alaihis-salam berawal di sini dan ini merupakan kelahiran spiritualnya. Dalam istilah Injil –’Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini!’ Ini adalah bagaimana Tuhan berbicara kepada Daud Alaihis-salam tentang pertemuannya, pada kitab Mazmur 2: 7.
Keseluruhan bagian Al-Qur’an di atas penuh arti gaib yang paling tinggi, direfleksikan dalam ayat-ayat bersajak pendek dalam bentuk asli. Irama dan arti di dalam teks memberi kesan misteri tertinggi. Untuk mempermudah perbandingan ini saya menyalin ulang empat ayat tersebut bersama-sama:
“Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa? Ketika ia melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya, ‘Tinggallah kamu (disini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu. Maka ketika ia datang ke tempat api itu ia dipanggil, ‘Hai Musa. Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu, sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa’…” (QS. Thahaa: 9-12).
Thuwa adalah lembah tepat dibawah Gunung Sinai, tempat dimana Musa Alaihis-salam selanjutnya menerima hukum. Dalam arti gaib yang sejajar, kita diseleksi dengan cobaan-cobaan dalam kehidupan yang sederhana ini, lembah yang suci dan menerima pujian Tuhan setinggi gunung (Tur) Sinai, kecuali jika kita mempunyai pengetahuan untuk dapat mengetahuinya. Dan, ‘terompah’ harus dilepas sebagai tanda penghormatan. Dalam arti gaib yang sama, Musa Alaihis-salam sekarang harus menyimpan semua keinginan dan keperluan duniawinya, ia telah dipilih oleh Tuhan Yang Maha Tinggi.
Apakah Keputusan Anda?
Bagaimana seseorang menjadi biasa untuk mendongeng cerita bohong untuk mengevaluasi obat mujarab dari Tuhan? Bahkan seorang pengeritik simpatik seperti Thomas Carlyle, seorang pemikir terbesar abad lalu; tak dapat mengerti keringkasan gaya yang tajam dan kejelasannya. Dia menyebut pembacaan Al-Qur’an:
“Menjemukan membingungkan tidak teratur, kasar, incondite; kebodohan yang tidak dapat didukung … “
Incondite berarti sebuah konstruksi literatur atau komposisi artistik yang buruk: ‘kebodohan yang tidak dapat didukung?’ Setelah membandingkan penggambaran Al-Qur’an dan Injil, bagaimana keputusan Anda? Saya telah mendatangi seorang jurnalis yang gagal mengenali kecemerlangan Muhammad (?) Shallallahu Alalhi wa Sallam; dalam mendiktekan fakta-fakta langsung, tanpa berusaha menganalisa atau menginterpretasikannya: dengan tepat seperti yang akan dilakukan seorang pemimpin jurnalis untuk suratkabar atau majalah saat ini. Hanya inilah yang bersifat mu’jizat! Anda setuju?



dicopy dr : http://kristolog.com
Share it:

Artikel

Post A Comment:

0 comments: