Keimanan mereka lebih bersandarkan apa yang tampak secara
dzahir dan masuk akal mereka. Oleh karenanya kita dapat temukan, mereka dalam
mendalami ilmu agama terkadang tidak mempercayai apa yang disampaikan orang tua
ataupun guru mereka yang pada umumnya mengikuti salah satu dari Imam Mazhab
yang empat. Mereka lebih bersandarkan apa yang tampak secara dzahir dari Al
Qur'an dan Hadits berdasarkan upaya pemahaman mereka sendiri (otodidak).
Contohnya apa yang dialami oleh ulama Al Albani, di mana
beliau tidak lagi mau mengikuti cara sholat yang diajarkan oleh orang tua dan
gurunya namun memilih membuat cara sholatnya sendiri berdasarkan upaya
pemahamannya sendiri terhadap Al Qur'an dan Hadits. Sedangkan beliau tidak
dikenal berkompetensi sebagai ahli istidlal atau Imam Mujtahid Mutlak sehingga
kemungkinan salah memahami (ijtihad) dan salah mengambil hukumnya (istinbat)
akan semakin besar.
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak
disebut ahli hadits?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang
hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama
dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada
distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya
shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini
sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat
tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia
tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran.
Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk
menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Jika kita ingin mengambil hukum langsung dari Al Qur'an dan
As Sunnah sebagai dasar suatu perbuatan seperti tata cara sholat maka tidak
cukup bermodalkan apa yang tampak secara dzahir dari Al Qur'an dan As Sunnah
atau tidak cukup bermodalkan "terjemahkan saja" atau tidak cukup
bersandarkan pemahaman dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah
(terminologi) saja.
KH. Muhammad Nuh Addawami menyampaikan
***** awal kutipan *****
Di masa hidup Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
menerima risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut relatif
mudah, tidak sulit sesulit pada masa setelah wafatnya, apalagi setelah inqiradh
para Sahabatnya.
Di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam masih hidup
di dunia, bagi yang ingin menerima risalahnya hanya tinggal bertanya kepadanya
dan mengikuti langsung apa-apa yang dikatakan, dikerjakan dan direstuinya.
Sedangkan pada masa setelah wafat beliau Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam terutama setelah inqiradh para Sahabatnya apalagi dalam masalah baru
seiring dengan perkembangan zaman, kesulitan menerima risalah itu amat terasa
sulit sekali, sehingga para penerimanya memerlukan kecermatan yang kuat dalam
memahami al-Quran dan as-Sunnah, berijtihad dan beristinbath yang akurat
menurut metoda yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya menurut ukuran
prinsip-prinsip risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu sendiri
dengan logika yang benar, berbekal perbendaharaan ilmu yang cukup jumlah dan
jenisnya, berlandaskan mental (akhlaq) dan niat semata-mata mencari kebenaran
yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hal semacam itu diperlukan karena keadaan kalam Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan kalam Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu
adalah kalam yang balaghah sesuai dengan muqtadhal hal dan muqtadhal maqam,
keadaan lafadz-lafadznya beraneka ragam, ada lafadz nash, ada lafadz dlahir,
ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada
yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah
selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain sebagainya.
Oleh karena itu bagi setiap sang penerima risalah Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada masa setelah wafat beliau Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam dan setelah inqiradh para Sahabatnya radhiallahu anhum memerlukan :
a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya,
karena al-quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang
bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus
diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan hanya arti bahasa tetapi
juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf,
balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau
tidak, bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan
as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan
as-Sunnah itu yang beraneka ragam seperti yang telah dikatakan tadi yang
masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.
c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil
naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.
d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui
asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad,
baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang
lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan
tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana untuk
menggali hukum-hukum dari al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-masalah
ijtihadiyah padahal dia ingin menerima risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak ada jalan lain kecuali taqlid
kepada mujtahid yang dapat dipertanggungjawabkan kemampuannya.
Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat
imam mujtahid, yaitu:
- Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
- Imam Malik bin Anas;
- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ; dan
- Imam Ahmad bin Hanbal.
Mengharamkan taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’
dalam arti mengikuti pendapat orang disertai mengetahui dalil-dalilnya terhadap
orang awam (yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatkan yang
akan merusak sendi-sendi kehidupan di dunia ini.
Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan
tidak memajukannya. (lihat Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala syarh al- Waraqat hal 23
pada baris ke-12).
Apabila si awam menerima fatwa orang yang mengemukakan
dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima fatwa orang yang tidak
disertai dalil yang dikemukakan. Dalam artian mereka sama-sama muqallid,
sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya.
Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam istilah
ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal (mujtahid) yang menerima pendapat orang
lain karena dia selaku ahli istidlal dengan segala kemampuannya mengetahui
dalil pendapat orang itu.
Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu
fatwa dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang
penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak termasuk
muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah
ushuliyyin adalah ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain
***** akhir kutipan *****
Begitupula dalam masalah i'tiqod atau aqidah seperti
memahami ayat-ayat mutasyabihat, tidak cukup bersandarkan apa yang tampak
secara dzahir atau tidak cukup bersandarkan terjemahannya saja atau tidak cukup
bersandarkan pada apa yang tampak tertulis (tersurat) dari Al Qur'an dan As
sunnah atau tidak cukup bersandarkan pemahaman dari sudut arti bahasa (lughot)
dan istilah (terminologi) saja.
Al Qur'an dan As Sunnah diturunkan Allah Azza waJalla dan
disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam bahasa Arab yang
fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi. Sedangkan yang balaghah pada umumnya
mempunyai makna bathin atau makna di balik apa yang tampak secara dzahir atau
makna di balik apa yang tampak tertulis (tersurat) yang disebut makna tersirat.
Kalau memahami ayat-ayat mutasyabihat dimaknai dengan makna
dzahir maka akan terjerumus kekufuran dalam i'tiqod atau tasybihillah
bikholqihi , penyerupaan Allah dengan makhluq Nya
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya
al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha
Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu
dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah
satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi
dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat
mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang
dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan
istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata,
bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala
Ummil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal dapat kita ketahui bahwa
- Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (tangan, mata, kaki) sebagaimana jisim-jisim
lainnya, maka orang tersebut hukumnya “Kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod)
- Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (tangan, mata, kaki)n amun tidak serupa
dengan jisim-jisim lainnya, maka orang tersebut hukumnya ‘Aashin atau orang
yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
- I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa
sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim (bentuk suatu
makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat
Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.
Berikut contoh keimanan atau i'riqod mereka yang lebih
bersandarkan apa yang tampak secara dzahir atau bersandarkan pemahamannya dari
sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) dari hadits seperti
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah dan
Zuhair bin Harb dan Ibnu Numair mereka berkata; telah menceritakan kepada kami
Sufyan bin ‘Uyainah dari ‘Amru -yaitu Ibnu Dinar- dari ‘Amru bin Aus dari
Abdullah bin ‘Amru, -dan Ibnu Numair dan Abu Bakar mengatakan sesuatu yang
sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan dalam haditsnya Zuhair-
dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang-orang
yang berlaku adil berada di sisi Allah di atas mimbar (panggung) yang terbuat
dari cahaya, di sebelah kanan Ar Rahman ‘azza wajalla -sedangkan kedua tangan
Allah adalah kanan semua-, yaitu orang-orang yang berlaku adil dalam hukum,
adil dalam keluarga dan adil dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepada
mereka.” (HR Muslim 3406)
Mereka beri'tiqod bahwa Tuhan mereka memiliki dua tangan dan
kedua tangan adalah kanan sebagaimana contoh yang termuat pada
http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan/
atau pada
http://artikelassunnah.blogspot.com/2010/03/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa.html
Padahal kita mengenal kata kiasan (majaz) seperti tangan
kanan Presiden yang artinya orang kepercayaan Presiden.
Jadi yang dimaksud tangan kanan Allah adalah hambaNya yang
dipercayaiNya dalam menegakkan keadilan sedangkan kata "kanan semua"
adalah sebagai penegasan sehingga mempunyai makna "sebaik-baik hambaNya
yang dipercayaiNya dalam menegakkan keadilan adalah orang-orang yang berlaku
adil dalam hukum, adil dalam keluarga dan adil dalam melaksanakan tugas yang
dibebankan kepada mereka.”
Mereka mengingkari makna majaz (kiasan). Mereka katakan
bahwa mentakwilkan berdasarkan ilmu balaghah seperti makna majaz (makna kiasan)
termasuk men-tahrif atau mengalihkan makna atau bahkan termasuk mencari-cari
takwil.
Padahal mentakwilkan bersandarkan ilmu balaghoh seperti
makna majaz (makna kiasan) tidak termasuk yang dikatakan mencari-cari takwil
mengikuti hawa nafsu.
Al-Imam al-Hafizh al Alamah Abul Faraj Abdurrahman bin Ali
bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi
dalam kitab Daf’u syubah at-tasybih bi-akaffi at-tanzih sebagaimana contoh
terjemahannya pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf
berkata, "Benar, sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam
makna lahirnya jika itu dimungkinkan, namun jika ada tuntutan takwil maka
berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz
(metaforis)".
Begitupula, kalau kita amati bahwa mereka yang keimanannya
lebih bersandarkan apa yang tampak secara dzahir dan masuk akal mereka maka
mereka semakin tidak mempercayai ilmu-ilmu yang terkait perkara ghaib.
Kata ghaib, menurut beberapa kamus arab berasal dari kata
ghoba (tidak tampak, tidak hadir) kebalikan dari kata hadhoro atau dhoharo
(hadir atau nampak). Ghaib adalah sesuatu yang tidak tampak dengan panca indera
seperti mata kita atau sesuatu yang tidak tampak secara kasat mata.
Mereka yang keimanan mereka lebih bersandarkan apa yang
tampak secara dzahir dan masuk akal mereka, contohnya dalam masalah sakit maka
mereka ada kecenderungan berkeyakinan bahwa yang menyembuhkan sakit adalah
dokter atau obat yang mereka pergunakan. Hal yang tampak secara dzahir adalah
ketika mereka ke dokter dan menggunakan obat yang diresepkan oleh dokter
tersebut maka merekapun sembuh dari sakitnya. Padahal pada hakikatnya yang
menyembuhkan dari sakit adalah Allah Azza wa Jalla sedangkan dokter maupun obat
hanyalah perantara (washilah) atau syariat untuk sembuh dari sakit.
Mereka tidak lagi meyakini bahwa segelas air putih yang
dibacakan Al Fatihah oleh ulama yang sholeh yang telah meraih maqom disisiNya
sehingga dapat melihatNya dengan hati (ain bashiroh) dapat pula menjadi
perantara (washilah) atau syariat untuk sembuh dari sakit.
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya At Tamimi;
Telah mengabarkan kepada kami Husyaim dari Abu Bisyr dari Abu Al Mutawakkil
dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa beberapa orang sahabat melakukan perjalanan jauh
dan berhenti untuk istirahat pada salah satu perkampungan ‘Arab, lalu mereka
minta dijamu oleh penduduk kampung itu. Tetapi penduduk enggan menjamu mereka.
Penduduk bertanya kepada para sahabat; ‘Adakah di antara tuan-tuan yang pandai
mantera? Kepala kampung kami digigit serangga.’ Menjawab seorang sahabat; ‘Ya,
ada! Kemudian dia mendatangi kepala kampung itu dan memanterainya dengan
membaca surat Al Fatihah. Maka kepala kampung itu pun sembuh. Kemudian dia diberi
upah kurang lebih tiga puluh ekor kambing. Tetapi dia enggan menerima seraya
mengatakan; ‘Tunggu! Aku akan menanyakannya lebih dahulu kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, apakah aku boleh menerimanya.’ Lalu dia datang
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menanyakannya hal itu, katanya; ‘Ya,
Rasulullah! Demi Allah, aku telah memanterai seseorang dengan membacakan surat
Al Fatihah.’ Beliau tersenyum mendengar cerita sahabatnya dan bertanya:
‘Bagaimana engkau tahu Al Fatihah itu mantera? ‘ Kemudian sabda beliau pula:
‘Terimalah pemberian mereka itu, dan berilah aku bagian bersama-sama denganmu.’
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar dan Abu Bakr bin Nafi’
keduanya dari Ghundar Muhammad bin Ja’far dari Syu’bah dari Abu Bisyr melalui
jalur ini, dia menyebutkan di dalam Haditsnya; ‘Kemudian orang itu mulai
membacakan Ummul Qur’an, dan mengumpulkan ludahnya lalu memuntahkannya, setelah
itu orang itu sembuh. (HR Muslim 4080)
Contoh lain bertawassul dengan Mu’awwidzat (surat Al Ikhlas,
An Nas dan Al Falaq)
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf Telah
mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah
radliallahu ‘anha, bahwasanya; Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
menderita sakit, maka beliau membacakan Al Mu’awwidzaat untuk dirinya sendiri,
lalu beliau meniupkannya. Dan ketika sakitnya parah, maka akulah yang
membacakannya pada beliau, lalu mengusapkan dengan menggunakan tangannya guna
mengharap keberkahannya. (HR Bukhari 4629)
Telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Musa telah
mengabarkan kepada kami Hisyam dari Ma’mar dari Az Zuhri dari ‘Urwah dari
‘Aisyah radliallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meniupkan
kepada diri beliau sendiri dengan Mu’awwidzat (surat Al Ikhlas, An Nas dan Al
Falaq) ketika beliau sakit menjelang wafatnya, dan tatkala sakit beliau semakin
parah, sayalah yang meniup dengan kedua surat tersebut dan saya megusapnya
dengan tangan beliau sendiri karena berharap untuk mendapat berkahnya. Aku
bertanya kepada Az Zuhri; Bagaimana cara meniupnya? dia menjawab; Beliau meniup
kedua tangannya, kemudian beliau mengusapkan ke wajah dengan kedua tangannya.
(HR Bukhari 5294)
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id Telah
menceritakan kepada kami Al Mufadldlal bin Fadlalah dari Uqail dari Ibnu Syihab
dari Urwah dari Aisyah bahwa biasa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila
hendak beranjak ke tempat tidurnya pada setiap malam, beliau menyatukan kedua
telapak tangannya, lalu meniupnya dan membacakan: QULHUWALLAHU AHAD.. dan, QUL
`A’UUDZU BIRABBIL FALAQ… serta, QUL `A’UUDZU BIRABBIN NAAS.. Setelah itu,
beliau mengusapkan dengan kedua tangannya pada anggota tubuhnya yang terjangkau
olehnya. Beliau memulainya dari kepala, wajah dan pada anggota yang dapat
dijangkaunya. Hal itu, beliau ulangi sebanyak tiga kali. (HR Bukhari 4630)
Contoh lain bertawassul dengan kemuliaan benda seperti
berdoa memohon kesembuhan kepada Allah dengan perantaraan baju, perantaraan
ludah orang-orang yang mulia disisi Allah
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu
letakkanlah dia kewajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali; dan bawalah
keluargamu semuanya kepadaku” (QS Yusuf [12]:93)
Setelah itu, ia meneruskan ucapannya; ‘Jubah ini dahulu ada
pada Aisyah hingga ia meninggal dunia. Setelah ia meninggal dunia, maka aku pun
mengambilnya. Dan dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sering
mengenakannya. Lalu kami pun mencuci dan membersihkannya untuk orang sakit agar
ia lekas sembuh dengan mengenakannya. (HR Muslim 3855)
“Dan Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah
dan Ibnu Numair dan Abu Kuraib mereka berkata, telah mengabarkan kepada kami
Hafsh bin Ghiyats dari Hisyam dengan isnad ini. Adapun Abu Bakr, maka ia
berkata dalam riwayatnya; (Beliau bersabda kepada tukang cukur): HAA (cukurlah
rambutku). Beliau sambil memberi isyarat ke arah kepala bagian kanannya seperti
ini. Lalu beliau membagi-bagikan rambutnya kepada mereka yang berada di dekat
beliau”. (HR Muslim 2298)
“Lalu Rasulullah bertanya; Di mana Ali bin Abu Thalib? Para
sahabat menjawab; Ia sedang menderita sakit mata ya Rasulullah. Rasulullah
berkata, Bawalah ia kemari! Tak lama kemudian, Ali bin Abu Thalib datang
menemui Rasulullah. Lalu Rasulullah meludahi kedua matanya dan berdoa untuk
kesembuhannya. Tak lama kemudian kedua mata Ali sembuh tanpa ada rasa sakit
lagi. (HR Muslim 4423)
Telah menceritakan kepadaku Shadaqah bin Al Fadl telah
mengabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah dari ‘Abdurrabbihi bin Sa’id dari ‘Amrah
dari ‘Aisyah dia berkata; Biasanya dalam meruqyah, beliau membaca: BISMILLAHI
TURBATU ARDLINA BI RIIQATI BA’DLINA YUSYFAA SAQIIMUNA BI IDZNI RABBINA (Dengan
nama Allah, Debu tanah kami dengan ludah sebagian kami semoga sembuh orang yang
sakit dari kami dengan izin Rabb kami (HR Bukhari 5304)
Yang dimakasud “ludah sebagian kami” adalah ludah hambaNya
yang telah meraih maqom disisiNya.
Begitupula sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan
pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/02/06/pengertian-tawassul/ bahwa
bertawassul dengan kaum muslim yag telah meraih maqom (derajat) disisiNya atau
dengan Rasulullah maupun para Wali Allah (kekasih Allah) yang telah wafat
dibolehkan karena salah satu pengertian tawassul adalah salah satu metode
berdoa dan salah satu pintu dari pintu-pintu untuk menghadap Allah Subhanahu wa
ta’ala. Andaikan mereka berupaya mendalami perkara ghaib tentu mereka akan
paham apa yang dimaksud dengan pintu (misykat) untuk menghadap Allah subhanahu
wa ta’ala.
Pada hakikatnya dalam perkara ghaib maupun perkara lainnya
kalau Allah Azza wa Jalla berkehendak maka segala sesuatu dapat saja terjadi
Contoh lainnya para kekasih Allah atau Wali Allah yakni
mereka yang telah meraih maqom (derajat) disisiNya sehingga menyaksikanNya
dengan hati (ain bashiroh) dapat saja kehadirannya di tempat yang berlainan
dengan jasadnya. Kehadirannya di tempat yang lain dari jasadnya tersebut dapat
dibuktikan dengan kesaksian orang yang bertemu dengannya di tempat yang lain
dari jasadnya tersebut.
Para kekasih Allah atau Wali Allah dari seluruh penjuru
dunia mereka dapat saling mengenal walaupun jasad mereka belum saling bertemu
yakni salah satunya pada saat mereka berkesempatan thawaf maupun sholat
berjama’ah dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di Baitul Makmur yang
berada tegak lurus di atas Baitul Ka’bah
Contohnya Al Imam al Alim al Alamah al Arif Billah Muhadits
al Musnid al Mufasir Qutb al Haramain Syeikh Muhammad al Maliki al Hasni al
Husaini as Syadzili Mekah menyebutkan bahwa Syekh Ahmad Shohibul wafa Tajul
‘Arifin adalah Sulthonul Awliya fi hadza zaman bahkan beliaupun menyebutkan
Qoddasallahu Sirrohu. Walaupun secara dzahir jasad Syekh Muhammad Alawy
Al-Maliki belum bertemu dengan pangersa Abah namun keduanya telah mengenal di
alam ruhani yang tak dibatasi ruang dan waktu."
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Post A Comment: