Halaman

Cari

Keimanan yang lebih bersandarkan apa yang tampak secara dzahir

Share it:


Keimanan mereka lebih bersandarkan apa yang tampak secara dzahir dan masuk akal mereka. Oleh karenanya kita dapat temukan, mereka dalam mendalami ilmu agama terkadang tidak mempercayai apa yang disampaikan orang tua ataupun guru mereka yang pada umumnya mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat. Mereka lebih bersandarkan apa yang tampak secara dzahir dari Al Qur'an dan Hadits berdasarkan upaya pemahaman mereka sendiri (otodidak).

Contohnya apa yang dialami oleh ulama Al Albani, di mana beliau tidak lagi mau mengikuti cara sholat yang diajarkan oleh orang tua dan gurunya namun memilih membuat cara sholatnya sendiri berdasarkan upaya pemahamannya sendiri terhadap Al Qur'an dan Hadits. Sedangkan beliau tidak dikenal berkompetensi sebagai ahli istidlal atau Imam Mujtahid Mutlak sehingga kemungkinan salah memahami (ijtihad) dan salah mengambil hukumnya (istinbat) akan semakin besar.

Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits?

Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)

Jika kita ingin mengambil hukum langsung dari Al Qur'an dan As Sunnah sebagai dasar suatu perbuatan seperti tata cara sholat maka tidak cukup bermodalkan apa yang tampak secara dzahir dari Al Qur'an dan As Sunnah atau tidak cukup bermodalkan "terjemahkan saja" atau tidak cukup bersandarkan pemahaman dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja.

KH. Muhammad Nuh Addawami menyampaikan

***** awal kutipan *****
Di masa hidup Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menerima risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut relatif mudah, tidak sulit sesulit pada masa setelah wafatnya, apalagi setelah inqiradh para Sahabatnya.

Di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam masih hidup di dunia, bagi yang ingin menerima risalahnya hanya tinggal bertanya kepadanya dan mengikuti langsung apa-apa yang dikatakan, dikerjakan dan direstuinya.

Sedangkan pada masa setelah wafat beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terutama setelah inqiradh para Sahabatnya apalagi dalam masalah baru seiring dengan perkembangan zaman, kesulitan menerima risalah itu amat terasa sulit sekali, sehingga para penerimanya memerlukan kecermatan yang kuat dalam memahami al-Quran dan as-Sunnah, berijtihad dan beristinbath yang akurat menurut metoda yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya menurut ukuran prinsip-prinsip risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu sendiri dengan logika yang benar, berbekal perbendaharaan ilmu yang cukup jumlah dan jenisnya, berlandaskan mental (akhlaq) dan niat semata-mata mencari kebenaran yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Hal semacam itu diperlukan karena keadaan kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kalam Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu adalah kalam yang balaghah sesuai dengan muqtadhal hal dan muqtadhal maqam, keadaan lafadz-lafadznya beraneka ragam, ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain sebagainya.

Oleh karena itu bagi setiap sang penerima risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada masa setelah wafat beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan setelah inqiradh para Sahabatnya radhiallahu anhum memerlukan :

a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena al-quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).

b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam seperti yang telah dikatakan tadi yang masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.

c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.

d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.

e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.

Bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana untuk menggali hukum-hukum dari al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-masalah ijtihadiyah padahal dia ingin menerima risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak ada jalan lain kecuali taqlid kepada mujtahid yang dapat dipertanggungjawabkan kemampuannya.

Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:

- Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
- Imam Malik bin Anas;
- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ; dan
- Imam Ahmad bin Hanbal.

Mengharamkan taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti mengikuti pendapat orang disertai mengetahui dalil-dalilnya terhadap orang awam (yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatkan yang akan merusak sendi-sendi kehidupan di dunia ini.

Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak memajukannya. (lihat Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala syarh al- Waraqat hal 23 pada baris ke-12).

Apabila si awam menerima fatwa orang yang mengemukakan dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima fatwa orang yang tidak disertai dalil yang dikemukakan. Dalam artian mereka sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya.

Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam istilah ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal (mujtahid) yang menerima pendapat orang lain karena dia selaku ahli istidlal dengan segala kemampuannya mengetahui dalil pendapat orang itu.

Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.

Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin adalah ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain
***** akhir kutipan *****

Begitupula dalam masalah i'tiqod atau aqidah seperti memahami ayat-ayat mutasyabihat, tidak cukup bersandarkan apa yang tampak secara dzahir atau tidak cukup bersandarkan terjemahannya saja atau tidak cukup bersandarkan pada apa yang tampak tertulis (tersurat) dari Al Qur'an dan As sunnah atau tidak cukup bersandarkan pemahaman dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja.

Al Qur'an dan As Sunnah diturunkan Allah Azza waJalla dan disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi. Sedangkan yang balaghah pada umumnya mempunyai makna bathin atau makna di balik apa yang tampak secara dzahir atau makna di balik apa yang tampak tertulis (tersurat) yang disebut makna tersirat.

Kalau memahami ayat-ayat mutasyabihat dimaknai dengan makna dzahir maka akan terjerumus kekufuran dalam i'tiqod atau tasybihillah bikholqihi , penyerupaan Allah dengan makhluq Nya

Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.

Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”

Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal dapat kita ketahui bahwa

- Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (tangan, mata, kaki) sebagaimana jisim-jisim lainnya, maka orang tersebut hukumnya “Kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod)

- Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (tangan, mata, kaki)n amun tidak serupa dengan jisim-jisim lainnya, maka orang tersebut hukumnya ‘Aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala

- I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.

Berikut contoh keimanan atau i'riqod mereka yang lebih bersandarkan apa yang tampak secara dzahir atau bersandarkan pemahamannya dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) dari hadits seperti

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb dan Ibnu Numair mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Sufyan bin ‘Uyainah dari ‘Amru -yaitu Ibnu Dinar- dari ‘Amru bin Aus dari Abdullah bin ‘Amru, -dan Ibnu Numair dan Abu Bakar mengatakan sesuatu yang sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan dalam haditsnya Zuhair- dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang-orang yang berlaku adil berada di sisi Allah di atas mimbar (panggung) yang terbuat dari cahaya, di sebelah kanan Ar Rahman ‘azza wajalla -sedangkan kedua tangan Allah adalah kanan semua-, yaitu orang-orang yang berlaku adil dalam hukum, adil dalam keluarga dan adil dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka.” (HR Muslim 3406)

Mereka beri'tiqod bahwa Tuhan mereka memiliki dua tangan dan kedua tangan adalah kanan sebagaimana contoh yang termuat pada http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan/ atau pada http://artikelassunnah.blogspot.com/2010/03/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa.html

Padahal kita mengenal kata kiasan (majaz) seperti tangan kanan Presiden yang artinya orang kepercayaan Presiden.

Jadi yang dimaksud tangan kanan Allah adalah hambaNya yang dipercayaiNya dalam menegakkan keadilan sedangkan kata "kanan semua" adalah sebagai penegasan sehingga mempunyai makna "sebaik-baik hambaNya yang dipercayaiNya dalam menegakkan keadilan adalah orang-orang yang berlaku adil dalam hukum, adil dalam keluarga dan adil dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka.”

Mereka mengingkari makna majaz (kiasan). Mereka katakan bahwa mentakwilkan berdasarkan ilmu balaghah seperti makna majaz (makna kiasan) termasuk men-tahrif atau mengalihkan makna atau bahkan termasuk mencari-cari takwil.

Padahal mentakwilkan bersandarkan ilmu balaghoh seperti makna majaz (makna kiasan) tidak termasuk yang dikatakan mencari-cari takwil mengikuti hawa nafsu.

Al-Imam al-Hafizh al Alamah Abul Faraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi dalam kitab Daf’u syubah at-tasybih bi-akaffi at-tanzih sebagaimana contoh terjemahannya pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf berkata, "Benar, sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna lahirnya jika itu dimungkinkan, namun jika ada tuntutan takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis)".

Begitupula, kalau kita amati bahwa mereka yang keimanannya lebih bersandarkan apa yang tampak secara dzahir dan masuk akal mereka maka mereka semakin tidak mempercayai ilmu-ilmu yang terkait perkara ghaib.

Kata ghaib, menurut beberapa kamus arab berasal dari kata ghoba (tidak tampak, tidak hadir) kebalikan dari kata hadhoro atau dhoharo (hadir atau nampak). Ghaib adalah sesuatu yang tidak tampak dengan panca indera seperti mata kita atau sesuatu yang tidak tampak secara kasat mata.

Mereka yang keimanan mereka lebih bersandarkan apa yang tampak secara dzahir dan masuk akal mereka, contohnya dalam masalah sakit maka mereka ada kecenderungan berkeyakinan bahwa yang menyembuhkan sakit adalah dokter atau obat yang mereka pergunakan. Hal yang tampak secara dzahir adalah ketika mereka ke dokter dan menggunakan obat yang diresepkan oleh dokter tersebut maka merekapun sembuh dari sakitnya. Padahal pada hakikatnya yang menyembuhkan dari sakit adalah Allah Azza wa Jalla sedangkan dokter maupun obat hanyalah perantara (washilah) atau syariat untuk sembuh dari sakit.

Mereka tidak lagi meyakini bahwa segelas air putih yang dibacakan Al Fatihah oleh ulama yang sholeh yang telah meraih maqom disisiNya sehingga dapat melihatNya dengan hati (ain bashiroh) dapat pula menjadi perantara (washilah) atau syariat untuk sembuh dari sakit.

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya At Tamimi; Telah mengabarkan kepada kami Husyaim dari Abu Bisyr dari Abu Al Mutawakkil dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa beberapa orang sahabat melakukan perjalanan jauh dan berhenti untuk istirahat pada salah satu perkampungan ‘Arab, lalu mereka minta dijamu oleh penduduk kampung itu. Tetapi penduduk enggan menjamu mereka. Penduduk bertanya kepada para sahabat; ‘Adakah di antara tuan-tuan yang pandai mantera? Kepala kampung kami digigit serangga.’ Menjawab seorang sahabat; ‘Ya, ada! Kemudian dia mendatangi kepala kampung itu dan memanterainya dengan membaca surat Al Fatihah. Maka kepala kampung itu pun sembuh. Kemudian dia diberi upah kurang lebih tiga puluh ekor kambing. Tetapi dia enggan menerima seraya mengatakan; ‘Tunggu! Aku akan menanyakannya lebih dahulu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, apakah aku boleh menerimanya.’ Lalu dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menanyakannya hal itu, katanya; ‘Ya, Rasulullah! Demi Allah, aku telah memanterai seseorang dengan membacakan surat Al Fatihah.’ Beliau tersenyum mendengar cerita sahabatnya dan bertanya: ‘Bagaimana engkau tahu Al Fatihah itu mantera? ‘ Kemudian sabda beliau pula: ‘Terimalah pemberian mereka itu, dan berilah aku bagian bersama-sama denganmu.’ Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar dan Abu Bakr bin Nafi’ keduanya dari Ghundar Muhammad bin Ja’far dari Syu’bah dari Abu Bisyr melalui jalur ini, dia menyebutkan di dalam Haditsnya; ‘Kemudian orang itu mulai membacakan Ummul Qur’an, dan mengumpulkan ludahnya lalu memuntahkannya, setelah itu orang itu sembuh. (HR Muslim 4080)

Contoh lain bertawassul dengan Mu’awwidzat (surat Al Ikhlas, An Nas dan Al Falaq)

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah radliallahu ‘anha, bahwasanya; Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menderita sakit, maka beliau membacakan Al Mu’awwidzaat untuk dirinya sendiri, lalu beliau meniupkannya. Dan ketika sakitnya parah, maka akulah yang membacakannya pada beliau, lalu mengusapkan dengan menggunakan tangannya guna mengharap keberkahannya. (HR Bukhari 4629)

Telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Musa telah mengabarkan kepada kami Hisyam dari Ma’mar dari Az Zuhri dari ‘Urwah dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meniupkan kepada diri beliau sendiri dengan Mu’awwidzat (surat Al Ikhlas, An Nas dan Al Falaq) ketika beliau sakit menjelang wafatnya, dan tatkala sakit beliau semakin parah, sayalah yang meniup dengan kedua surat tersebut dan saya megusapnya dengan tangan beliau sendiri karena berharap untuk mendapat berkahnya. Aku bertanya kepada Az Zuhri; Bagaimana cara meniupnya? dia menjawab; Beliau meniup kedua tangannya, kemudian beliau mengusapkan ke wajah dengan kedua tangannya. (HR Bukhari 5294)

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id Telah menceritakan kepada kami Al Mufadldlal bin Fadlalah dari Uqail dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah bahwa biasa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila hendak beranjak ke tempat tidurnya pada setiap malam, beliau menyatukan kedua telapak tangannya, lalu meniupnya dan membacakan: QULHUWALLAHU AHAD.. dan, QUL `A’UUDZU BIRABBIL FALAQ… serta, QUL `A’UUDZU BIRABBIN NAAS.. Setelah itu, beliau mengusapkan dengan kedua tangannya pada anggota tubuhnya yang terjangkau olehnya. Beliau memulainya dari kepala, wajah dan pada anggota yang dapat dijangkaunya. Hal itu, beliau ulangi sebanyak tiga kali. (HR Bukhari 4630)

Contoh lain bertawassul dengan kemuliaan benda seperti berdoa memohon kesembuhan kepada Allah dengan perantaraan baju, perantaraan ludah orang-orang yang mulia disisi Allah

Firman Allah ta’ala yang artinya,

“Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah dia kewajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali; dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku” (QS Yusuf [12]:93)

Setelah itu, ia meneruskan ucapannya; ‘Jubah ini dahulu ada pada Aisyah hingga ia meninggal dunia. Setelah ia meninggal dunia, maka aku pun mengambilnya. Dan dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sering mengenakannya. Lalu kami pun mencuci dan membersihkannya untuk orang sakit agar ia lekas sembuh dengan mengenakannya. (HR Muslim 3855)

“Dan Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Ibnu Numair dan Abu Kuraib mereka berkata, telah mengabarkan kepada kami Hafsh bin Ghiyats dari Hisyam dengan isnad ini. Adapun Abu Bakr, maka ia berkata dalam riwayatnya; (Beliau bersabda kepada tukang cukur): HAA (cukurlah rambutku). Beliau sambil memberi isyarat ke arah kepala bagian kanannya seperti ini. Lalu beliau membagi-bagikan rambutnya kepada mereka yang berada di dekat beliau”. (HR Muslim 2298)

“Lalu Rasulullah bertanya; Di mana Ali bin Abu Thalib? Para sahabat menjawab; Ia sedang menderita sakit mata ya Rasulullah. Rasulullah berkata, Bawalah ia kemari! Tak lama kemudian, Ali bin Abu Thalib datang menemui Rasulullah. Lalu Rasulullah meludahi kedua matanya dan berdoa untuk kesembuhannya. Tak lama kemudian kedua mata Ali sembuh tanpa ada rasa sakit lagi. (HR Muslim 4423)

Telah menceritakan kepadaku Shadaqah bin Al Fadl telah mengabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah dari ‘Abdurrabbihi bin Sa’id dari ‘Amrah dari ‘Aisyah dia berkata; Biasanya dalam meruqyah, beliau membaca: BISMILLAHI TURBATU ARDLINA BI RIIQATI BA’DLINA YUSYFAA SAQIIMUNA BI IDZNI RABBINA (Dengan nama Allah, Debu tanah kami dengan ludah sebagian kami semoga sembuh orang yang sakit dari kami dengan izin Rabb kami (HR Bukhari 5304)

Yang dimakasud “ludah sebagian kami” adalah ludah hambaNya yang telah meraih maqom disisiNya.

Begitupula sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/02/06/pengertian-tawassul/ bahwa bertawassul dengan kaum muslim yag telah meraih maqom (derajat) disisiNya atau dengan Rasulullah maupun para Wali Allah (kekasih Allah) yang telah wafat dibolehkan karena salah satu pengertian tawassul adalah salah satu metode berdoa dan salah satu pintu dari pintu-pintu untuk menghadap Allah Subhanahu wa ta’ala. Andaikan mereka berupaya mendalami perkara ghaib tentu mereka akan paham apa yang dimaksud dengan pintu (misykat) untuk menghadap Allah subhanahu wa ta’ala.

Pada hakikatnya dalam perkara ghaib maupun perkara lainnya kalau Allah Azza wa Jalla berkehendak maka segala sesuatu dapat saja terjadi

Contoh lainnya para kekasih Allah atau Wali Allah yakni mereka yang telah meraih maqom (derajat) disisiNya sehingga menyaksikanNya dengan hati (ain bashiroh) dapat saja kehadirannya di tempat yang berlainan dengan jasadnya. Kehadirannya di tempat yang lain dari jasadnya tersebut dapat dibuktikan dengan kesaksian orang yang bertemu dengannya di tempat yang lain dari jasadnya tersebut.

Para kekasih Allah atau Wali Allah dari seluruh penjuru dunia mereka dapat saling mengenal walaupun jasad mereka belum saling bertemu yakni salah satunya pada saat mereka berkesempatan thawaf maupun sholat berjama’ah dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di Baitul Makmur yang berada tegak lurus di atas Baitul Ka’bah

Contohnya Al Imam al Alim al Alamah al Arif Billah Muhadits al Musnid al Mufasir Qutb al Haramain Syeikh Muhammad al Maliki al Hasni al Husaini as Syadzili Mekah menyebutkan bahwa Syekh Ahmad Shohibul wafa Tajul ‘Arifin adalah Sulthonul Awliya fi hadza zaman bahkan beliaupun menyebutkan Qoddasallahu Sirrohu. Walaupun secara dzahir jasad Syekh Muhammad Alawy Al-Maliki belum bertemu dengan pangersa Abah namun keduanya telah mengenal di alam ruhani yang tak dibatasi ruang dan waktu."

Wassalam


Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Share it:

Artikel

Post A Comment: