Gerakan
Wahhabisme mengawali kemunculannya di jazirah Arab pada abad ke-18
dengan pertumpahan darah dan jatuhnya banyak korban. Ironisnya, ini
terjadi di antara kaum Muslim sendiri. Tak heran, sebab doktrin yang
dogmatis, intoleran, sangat literal dan kaku yang diusung kelompok ini
telah melahirkan penolakan total terhadap aliran pemikiran lain sampai
ke tingkat yang membabi buta, yakni doktrin takfiri, yang
menganggap kelompok lainnya sebagai kafir. Atas dasar klaim purifikasi,
yaitu pemurnian ajaran untuk kembali kepada Islam yang benar (menurut
versi mereka), gerakan ini mengijinkan perlawanan terhadap semua kaum
Muslim yang dipandang tidak sejalan dengan ajarannya. Maka perpecahan di
tubuh Islam pun menjadi tak terelakkan. Peradaban Islam pun menjadi
semakin jauh tertinggal karena terlalu disibukkan dengan persoalan
internal yang sudah usang.
I. Wahhabi Sebagai Sekte Tersendiri
Istilah
Wahhabi tidak diproklamirkan oleh pendiri ataupun pengikutnya, melainkan
datang dari orang-orang yang berada di luar. Nama tersebut diambil dari
perumus doktrin ajaran ini, yaitu Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb (1115 H/
1703 M – 1206 H/ 1791 M). Hingga saat ini, Wahhabi dijadikan mazhab
resmi di Arab Saudi yang pahamnya mendominasi berbagai aspek kehidupan
di sana.
Pengikut
aliran ini sendiri menolak sebutan Wahhabi, sebab sejak awal telah
menjadi stigma yang melahirkan kesan buruk, sehingga mereka lebih
memilih istilah al-Muwahhidûn atau Ahl al-Tawhîd, yang
berarti orang-orang yang mentauhidkan Allah. Namun justru nama yang
mereka gunakan itu mencerminkan keinginan untuk menggunakan secara
eksklusif prinsip tauhid yang merupakan landasan pokok Islam. Menurut
Prof. Hamid Algar, tidak ada alasan untuk menerima monopoli atas prinsip
tauhid tersebut, sebab gerakan ini merupakan hasil ijtihad seorang anak
manusia yang bisa benar bisa juga salah. Maka, cukup beralasan dan
lazim untuk menyebutnya “Wahhabisme” dan “kaum Wahhabi”.[1]
Para
pengikut Wahhabi menyatakan diri bahwa tujuan mereka semata-mata hanya
untuk memurnikan tauhid. Tauhid harus dimurnikan sebab telah bercampur
dengan apa yang mereka namakan sebagai syirik, tahayul, bid’ah dan
khurafat. Islam yang sarat beban historis harus dirampingkan dan
dibersihkan dengan cara mengembalikan umat Islam kepada induk ajarannya,
Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Wahhabisme
merupakan fenomena yang bersifat spesifik, yang mesti dipandang sebagai
mazhab pemikiran terpisah atau sekte tersendiri. Para pengamat,
khususnya non-Muslim, banyak yang melakukan deskripsi ringkas keliru
tentang mereka dengan menyebutnya sebagai kelompok Sunni ekstrim atau
konservatif. Padahal sejak awal, para ulama Sunni sendiri menganggap
mereka bukan bagian dari Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah. Hal itu
disebabkan karena hampir seluruh praktik, tradisi, dan kepercayaan yang
merupakan bagian integral Islam Sunni, dikecam oleh Muhammad bin ‘Abdul
Wahhab. Bahwa kaum Wahhabi kini dianggap sebagai Sunni[2],
hal itu mengindikasikan bahwa istilah “Sunni” telah diberi makna yang
sangat longgar, yakni sekadar pengakuan terhadap legitimasi empat
khalifah yang pertama. Bahkan istilah Sunni yang berkembang sekarang
tidak lebih berarti “non-Syi’ah”.[3] Karena itulah, penulis menganggap Wahhabi merupakan sekte atau mazhab tersendiri dalam Islam.
II. Perjalanan Wahhabisme dalam Sejarah
Pendiri
gerakan Wahhabi, Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, berasal dari keluarga klan
Tamim yang menganut mazhab Hambali, dan sangat terpengaruh oleh
tulisan-tulisan seorang ulama bermazhab Hambali bernama Ibnu Taimiyah
yang hidup di abad ke-14 M.
Sebelum menjadi mubaligh, ia banyak melakukan perjalanan ke berbagai wilayah yang motifnya tidak begitu jelas[4].
Mekkah, Madinah, Baghdad dan Bashrah (Irak), Damaskus (Syria), Qum
(Iran), Afghanistan serta India adalah wilayah yang sempat ia kunjungi.
Setelah berkelana dan belajar di berbagai kota, lantas ia pun membawa
doktrin-doktrin yang kemudian dijadikan landasan pemikiran dan
keyakinannya, yang nantinya dinilai bermasalah oleh mayoritas kalangan
Sunni ataupun Syi’ah.
Sebagian
peneliti meragukan motif utama Wahhabisme sebagai gerakan keagamaan
murni. Mereka mengajukan bukti yang mengarah kepada keraguan tersebut.
Salah satunya adalah bukti yang diajukan oleh Dr. Abdullah Mohammad
Sindi, seorang professor yang berasal dari Saudi Arabia. Dalam
makalahnya yang berjudul “Britain and the Rise of Wahhabism and the House of Saud”[5], ia mengutip sebuah memoar yang ditulis seorang agen rahasia Inggris yang berjuluk Hempher.
Dalam “Confession of a British Spy”[6],
demikian judul memoar tersebut, Hempher mengakui adanya sebuah
konspirasi Inggris untuk menggoyang kekuasaan Imperium Ottoman
(Utsmaniyah) serta untuk menciptakan konflik di antara kaum Muslim.
Hempher
yang berpura-pura memeluk Islam itu menjalin persahabatan panjang dengan
Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Hingga akhirnya berhasil melakukan brainwash terhadap
Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, sehingga mampu meyakinkannya bahwa
kebanyakan kaum Muslim saat itu telah menyimpang dari ajaran yang benar.
Dan Muhammad bin ‘Abdul Wahhab adalah manusia terpilih yang bisa
menyelamatkan Islam dari berbagai penyimpangan.
Tentang
kepribadian Ibn Abdul-Wahhab, Hempher menggambarkannya sebagai seorang
yang tidak stabil, berperangai buruk, gugup, sombong, dan bodoh.[7]
Jika
memoar tersebut benar adanya, maka tak diragukan bahwa gerakan
Wahhabisme sejak awal sudah terlibat dalam konspirasi yang disusun oleh
kolonial Inggris. Namun karena adanya sebagian peneliti yang meragukan
memoar tersebut dengan menunjukkan beberapa kejanggalan, maka tidak
menutup kemungkinan bahwa gerakan Wahhabisme pada awalnya memang
merupakan gerakan keagamaan. Meskipun pada perkembangan berikutnya,
adanya campur tangan Inggris tak bisa dipungkiri lagi.
Untuk
menarik berbagai analisa dari sebuah gerakan kontroversial ini, penulis
membagi perjalanan sejarah Wahhabisme dalam tiga periode:
Periode Pertama (1744-1818): Babak Awal Aliansi Wahhabi-Saudi
Huraymilah
terletak di Najd, sebuah wilayah di bagian timur jazirah Arab. Di
sinilah dakwah Ibnu ‘Abdul Wahhab dimulai setelah kembali dari
pengembaraannya. Ajarannya yang keras itu mengalami penolakan dari
masyarakat setempat, termasuk dari ayah dan saudaranya sendiri.
Pada periode ini, Ibnu ‘Abdul Wahhab menyusun sebuah buku kecil sederhana yang diberi judul Kitâb al-Tawhîd,
sebuah rujukan yang miskin bobot intelektual, sebab di dalamnya tidak
ada penjelasan yang menunjukkan bangunan kerangka berpikir sang penulis.
Tentang kitab ini, simak komentar Prof. Hamid Algar:
Alih-alih
menguraikan doktrin Islam yang paling fundamental seperti tercermin dari
judulnya, buku kecil itu hanya berisi kumpulan hadits tanpa diberi
komentar, yang disusun dalam enam puluh tujuh bab.
……
Adalah
lebih mendekati kebenaran untuk mengatakan buku ini dan karya-karya lain
Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab merupakan catatan-catatan seorang pelajar.
……
Tampaknya
para pelindung Wahhabisme merasa malu dengan ketipisan karya Muhammad
bin ‘Abd Wahhab, sehingga mereka memandang karya itu perlu dipertebal
ukurannya.[8]
Setelah
empat belas tahun menyebarkan ajarannya, ia kembali ke tempat
kelahirannya, ‘Uyaynah, yang kini memiliki kondisi yang lebih
menguntungkan. Penguasa setempat, yaitu ‘Utsman ibn Mu’ammar memperluas
perlindungannya kepada Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab dan bersumpah untuk
setia kepada pemahaman tauhid yang didakwahkan oleh Ibnu ‘Abdul Wahhab.
Perlindungan
penguasa membuat Ibnu ‘Abdul Wahhab semakin tak terkendali. Ia semakin
terang-terangan mengkafirkan semua kaum Muslimin yang dianggapnya
melakukan bid’ah. Ia mulai mengutuk berbagai tradisi dan akidah kaum
Muslimin serta menolak berbagai tafsir Al-Qur’an yang dianggapnya
menyimpang.
Namun ini
tidak berlangsung lama. Penguasa saat itu, ‘Utsman ibn Mu’ammar,
menyerah kepada pimpinan suku yang kuat di wilayah itu, sehingga pada
tahun 1744 ia diusir penguasa baru yang membuatnya pindah ke
Al-Dir’iyyah (masih di Najd), ibu kota keamiran Muhammad bin Sa’ud, yang
notabene bermusuhan dengan amir ‘Uyainah saat itu. Di sinilah Ibnu
‘Abdul Wahhâb mendapat perlindungan. Selanjutnya terbentuklah sebuah
aliansi permanen yang meliputi tiga aspek: politik, keagamaan, dan
perkawinan. Di bidang politik, sebagai amir Ibnu Sa’ud mendapatkan
legitimasi keagamaan; dalam bidang keagamaan Ibnu ‘Abdul Wahhab
diuntungkan dengan diangkatnya menjadi qadi serta ajarannya dinyatakan
sebagai mazhab resmi; dan dalam perkawinan Ibnu Sa’ud mengawini salah
seorang putri Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Sebuah aliansi yang tentu saja
menguntungkan kedua belah pihak. Prof. Abdullah Mohammad Sindi
menyebutkan bahwa lagi-lagi Inggris mengambil peran penting dalam rangka
terwujudnya aliansi tersebut. Melalui dukungan uang dan senjata,
Inggris semakin mudah menghasut mereka aliansi tersebut.[9]
Inilah
babak awal lahirnya sebuah negara teokratik yang kelak mengontrol ketat
segala macam bentuk interpretasi keagamaan khususnya di Arab Saudi.
Muhammad
bin Saud kemudian menyatakan secara terbuka penerimaannya terhadap
berbagai pemikiran dan pandangan keagamaan Muhammad bin Abdul Wahhab.
Tahun 1159 H/ 1746 M, aliansi Wahhabi-Saudi melakukan proklamasi formal
jihad melawan semua orang yang tidak sejalan dengan pemahaman tauhid
Wahhabisme, yaitu orang-orang yang dianggap sebagai kafir, musyrik, dan
murtad. Mula-mula mereka menyerang mazhab Syi’ah, kemudian kaum sufi,
lalu mulai menyerang orang-orang Sunni. Semua yang tidak mau mengikuti
mazhab mereka dianggap kafir dan halal darahnya.
Dalam
kurun waktu 10 tahun, aliansi tersebut tumbuh pesat menjadi kekuatan
dominan di jazirah Arab. Wilayah kekuasaan Muhammad bin Sa’ud berkembang
seluas 30 mil persegi.[10]
Tahun 1206
H/ 1791 M, tidak lama sesudah bentrokan dengan penguasa Madinah,
Muhammad bin ‘Abdul Wahhab meninggal. Namun hal ini tidak mengurangi
motivasi untuk melakukan penaklukan dan pembantaian. Malah, kekuatan
mereka tumbuh semakin besar.
Pada bulan
April tahun 1801, mereka membantai kaum Syi’ah di Karbala, tercatat
4000 orang dibantai secara kejam. Secara brutal pula mereka
menghancurkan makam Imam Husain di sana. Tahun 1810 mereka membunuh
orang-orang tak bersalah di jazirah Arab. Di Makkah mereka menjarah
orang-orang yang menunaikan ibadah haji. Di Madinah mereka menyerang dan
menodai Masjid dan makam Nabi.
Menyadari
kekuatan yang semakin besar, maka target selanjutnya adalah melepaskan
diri dari dari Imperium Utsmani. Tidak butuh waktu lama, ekspansi
Wahhabi berhasil menimbulkan instabilitas di wilayah kekhalifahan
tersebut, terutama di semenanjung Arabia, Irak dan Syam.
Periode Kedua (1818-1932): Kekalahan dan Kebangkitan Baru
Pendudukan
kaum Wahhabi atas Haramain memaksa pewaris kekhalifahan yang resmi,
yakni Kerajaan Utsmaniyah, untuk bertindak tegas. Terlebih, berbagai
aksi teror yang dilancarkan kelompok Wahhabi itu telah membangkitkan
kemarahan kaum Muslim sedunia. Untuk menindaklanjutinya, Istanbul
mengirim pasukan Mesir untuk menumpas gerakan tersebut. Tahun 1818 M,
Ibrahim Pasya dari Mesir mengalahkan kelompok Wahhabi. Dir’iyyah pun
diratakan dengan tanah. Abdullah al-Sa’ud, amir saat itu, beserta dua
pengikutnya diseret ke Istanbul. Di depan publik kepalanya dipenggal.
Sebagian lagi dibawa ke Kairo untuk ditahan di sana. Ini merupakan
sebuah pelajaran yang hendak ditunjukkan Kerajaan Utsmaniyah kepada
orang-orang yang menggabungkan ambisi politik dengan penyimpangan agama.
Kekalahan
itu membuat kelompok Wahhabi yang tersisa semakin terbakar api
permusuhan terhadap kelompok Muslim lainnya. Tapi ironisnya, semakin
mendekatkan diri kepada kolonial Inggris. Ini terlihat ketika tahun
1851, Faisal Ibn Turki al-Saud yang sebelumnya berhasil meloloskan diri
dari tahanannya di Kairo, kembali meminta dukungan Inggris. Sebagai
tindak lanjut hubungan itu, tahun 1865 Inggris mengirim Kolonel Lewis
Pelly ke Riyadh untuk membuat suatu perjanjian.
Di awal
abad ke-20, tatkala kekuatan dan strategi Inggris semakin berhasil
merongrong kekhalifahan Utsmaniyah, kembali pemimpin Wahhabi saat itu,
Abdul ‘Aziz, dimanfaatkan. Lagi-lagi, teror kembali dilakukan kelompok
Wahhabi. Dilaporkan, sekitar 1200 orang yang membangkang dibantai secara
kejam.[11]
Berkat
sokongan Inggris, perlahan tapi pasti aliansi Wahhabi-Saudi di bawah
kepemimpinan Abdul ‘Aziz berhasil menaklukkan hampir seluruh jazirah
Arab. Puncaknya, tahun 1932 kerajaan Saudi Arabia terbentuk. Ini
menandai periode kebangkitan baru aliansi Wahhabi-Saudi.
Periode Ketiga (1932-Sekarang): Patron Baru dan Melemahnya Ikatan
Periode
ini ditandai dengan perolehan atas kekayaan minyak dan peralihan dari
Inggris ke Amerika sebagai patron asing utama mereka. Kembali aliansi
ini dijadikan instrumen istimewa untuk kepentingan Amerika dan sekutunya
di Timur Tengah.
Melalui
kucuran petrodollar, dalam beberapa dekade terakhir ini Saudi dan
Wahhabismenya itu berupaya tidak saja menghilangkan stigma buruk yang
melekat kepadanya, tetapi juga secara dramatis berusaha meningkatkan
citra diri di tengah dunia Islam. Oleh karena itu, Wahhabisme kini telah
disajikan sebagai gerakan reformis yang semata-mata bertujuan untuk
melakukan purifikasi di tubuh Islam. Sang pendiri, Muhammad Ibn
Abdul-Wahhab pun ditampilkan sebagai tokoh pembaharu yang telah berhasil
memurnikan Islam dari berbagai noda.
Hal-hal
memalukan yang menjadi sorotan dunia pun berusaha dieliminasi. Perlakuan
diskriminasi terhadap kaum perempuan sebagai warga kelas tiga semakin
dikurangi. Tetapi isu-isu sektarian yang menyangkut perlakuan buruk
terhadap mazhab minoritas, terutama Syi’ah, tetap berlangsung.[12]
Namun
seiring berjalannya waktu, gejala melemahnya ikatan antara kelompok
keagamaan Wahhabi dan keluarga Saudi pun semakin kentara. Pemicu
utamanya adalah maraknya korupsi, gaya hidup hedonis, serta mulai
munculnya gejala sekularisasi. Sejumlah kecil orang mulai berani
mengecam dan berani mengungkap penyimpangan-penyimpangan rezim Saudi.
Pemberontakan
di Mekkah bulan November 1979, yang dipimpin oleh Juhaiman Muhammad
‘Utaibi, seorang mantan Kopral Garda Nasional Saudi, menjadi peringatan
awal adanya kekecewaan pada sebagian kalangan terhadap kerajaan Saudi.
Dikuasainya Masjidil Haram oleh sekelompok bersenjata cukup mengejutkan
dunia. Gejolak politik pun meledak. Lalu tentara Amerika dan Eropa
bersatu membantu pemerintah Saudi memulihkan situasi di tanah suci.[13]
Perang teluk 1991 dan ekspansi besar kehadiran Amerika semakin membuat lebarnya jurang antara kelompok Wahhabi dan rezim Saud.
Sementara
pemerintah Saudi semakin mesra dengan Amerika, para ulama Wahhabi justru
menganggap Amerika dan sekutunya adalah musuh yang harus diperangi.
Lantas orang bertanya, jika demikian, di mana ulama-ulama Wahhabi ketika
Irak diluluhlantakkan Amerika, ketika Hizbullah menahan gempuran Israel
selama 33 hari, juga ketika genosida terhadap rakyat Palestina
berlangsung hingga kini? Jawabnya sederhana: haram membantu perjuangan
orang-orang yang tidak seakidah dengan mereka.[14]
Itu pula yang menyebabkan kerajaan Saudi setengah hati ketika mendukung
penyerangan Amerika terhadap tentara Taliban di Afghanistan yang nota
bene berpaham Wahhabi.
Maka
ketika World Trade Center di New York luluh lantak pada tanggal 11
September 2001, ulama Wahhabi bernama ‘Abdullah bin Jibrin mengeluarkan
fatwa yang tidak hanya membenarkan serangan terhadap WTC, tetapi juga
mengutuk orang-orang murtad dan kaum Muslim yang berkolaborasi dengan
Amerika, sebuah kategori yang jelas di dalamnya termasuk keluarga
Kerajaan Saudi.[15] Namun meski demikian, masih banyak jajaran ulama Wahhabi yang tetap setia dengan rezim Saudi.
III. Salafisme: Wajah Baru Wahhabisme?
Ada
pengertian yang agak kabur antara Wahhabisme dan Salafisme, apakah
keduanya sama atau berbeda. Pasalnya, kaum Wahhabi sering pula
mengatasnamakan diri sebagai As-Salaf. Namun jika ditinjau dari kategorisasi historis, terdapat perbedaan di antara keduanya.
Sebagai
respons terhadap berbagai perkembangan yang terjadi di dunia Islam,
berkaitan dengan makin luasnya dominasi kaum imperialis Barat, muncullah
tokoh-tokoh pembaharu seperti Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad ‘Abduh,
Rasyid Ridha, lalu dilanjutkan dengan Ikhwan al-Muslimin, dan
singkatnya diteruskan oleh berbagai tokoh dan gerakan yang dikenal
sebagai Salafiyah.
Diantara
tokoh-tokoh pembaharu di atas, Rasyid Ridha dikenal paling fundamentalis
dan konservatif. Seperti Ibn Abdul Wahhab, referensi langsungnya adalah
kepada masa lalu dan para pendahulu yang saleh (al-salaf al-shâlih), karena itu gerakan mereka disebut sebagai Salafiyah.
Namun tidak seperti Wahhabisme, gerakan ini berusaha merekonsiliasi
ide-ide “modern” dan Islam dengan menemukan (dan menafsirkan) kembali
kebaikan-kebaikan yang menurut mereka terdapat dalam agama.[16]
Akibat
situasi politik di dunia Arab, era 1960-an tercipta hubungan yang lebih
erat antara Salafi dan Wahhabi ketika tejadi perang dingin antara kubu
Mesir dan Arab Saudi. Di bawah payung organisasi Liga Dunia Muslim yang
dibentuk Arab Saudi tahun 1962, kaitan lebih erat antara kaum Salafi dan
Wahhabi terwujud. Para anggota Ikhwan al-Muslimin di Mesir (dan
belakangan di Suriah) hampir sulit disalahkan jika mereka mendekatkan
diri kepada Arab Saudi, mengingat serangan-serangan yang mereka terima
di negeri mereka sendiri. Padahal kekhawatiran mereka sangat beralasan,
yakni semakin prihatin dengan cengkeraman imperialisme asing. Mungkin
itulah sebabnya orang-orang dengan kecenderungan Salafi seperti Rasyid
Ridha, yang dengan perasaan kecewa tengah mencari seorang pahlawan,
mulai bersimpati pada Wahhabisme.
Di tengah
transformasi Islam yang berkembang di Timur Tengah saat itu, salah satu
yang dikenal bercorak keras adalah yang lahir dari buah pemikiran Sayyid
Quthb (w.1960). Awalnya ia menggambarkan kondisi masyarakat kontemporer
sebagai neo-Jahiliyyah, namun kemudian ditafsirkan secara radikal oleh
aliran Islamis yang lebih muda dan ekstrem di Mesir (dan di beberapa
tempat di Timur Tengah). Implikasi paling serius yang telah dielaborasi
adalah konsep takfir. Muslim nominal (Islam “KTP”) telah menjadi kafir dan karena itu secara potensial diperbolehkan dibunuh.[17]
Watak
radikal itulah barangkali yang membuat sebagian orang menyamakan
Salafisme dengan Wahhabisme. Memang Salafisme memiliki sejumlah kesamaan
pandangan keberagamaan dengan Wahhabisme, tetapi perbedaannya cukup
mencolok. Adapun yang membedakannya adalah sebagai berikut:
- Salafi lebih menekankan persuasi daripada pemaksaan dalam rangka mengajak kaum Muslim untuk menerima pandangan mereka.
- Salafi memiliki kesadaran dan pengetahuan mengenai krisis politik dan sosial-ekonomi yang melanda dunia Islam.
- Salafi merekonsiliasikan ide-ide modern dengan nilai-nilai dalam Islam.
Perbedaan
di atas bisa ditarik ketika—sekali lagi—istilah Salafisme dikaitkan
dengan kategorisasi historis sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya.
Mengingat saat ini agak kabur untuk membedakan keduanya, terutama yang
berkembang di Indonesia.
Post A Comment: